Kala Blue-Eyed Cuscus Ternate Terancam Punah

Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore WIT. Angin di lingkungan Tongole RT 08 RW 004, Kelurahan Marikrubu, Kota Ternate, Senin (9/7/2018), masih bertiup pelan. Udara di sekitar rimbunan pohon setempat bahkan terasa sejuk. Di depan jalan sebuah rumah semi permanen berdiri kokoh. Seorang pria dan wanita paruh baya terlihat duduk berdampingan di teras depan rumah.

Ia adalah Ismail Soleman, bersama istrinya Janiba Sahrum, lelaki 66 tahun yang bekerja sebagai petani pala dan cengkih. Kebunnya berjarak 100 meter dari rumahnya. Sehari-hari, ia merawat 4.000 bibit pala yang telah disemainya di kantong plastik polybag. Di waktu luang, Ismail juga membuat kursi dari bahan bambu. Aktivitasnya itu, ia lakukan di sekitar rumah.

Pasangan tersebut memiliki 5 orang anak. Mereka bergantung hidup di kawasan hutan Tongole. Ismail menceritakan, beberapa jenis hewan endemik yang hidup di hutan itu mulai menghilang.

“(Selain burung), itu termasuk Kuso. Kalau dulu banyak. Biasanya di pohon belakang rumah sini. Bahkan saat ambil bulu (bambu) di kebun sering dapat,” kata Ismail.

Kuskus oleh penduduk Tongole menyebutnya Kuso (dalam bahasa Ternate). Hewan Omnivora pemakan serangga, daun, dan buah itu bernama latin Phalanger sp ternate. Ismail bilang, Kuskus (jenis hewan menyusui) yang ditemukan di hutan Tongole matanya biru. Dulu, biasa dijumpai saat musim buah.

Blue-eyed cuscus (dalam sebutan bahasa Inggris) atau Kuskus matabiru (dalam bahasa Indonesia) itu saat ini, oleh warga lingkungan Tongole dan yang tinggal di lingkungan Marikrubu bilang sudah jarang menemukannya. Populasinya mulai berkurang bahkan terancam punah akibat perburuan oleh penduduk Ternate.

“Banyak warga yang sering datang berburu Kuso untuk dikonsumsi. Mereka datang dari luar lingkungan Tongole. Bukan penduduk sini. (Para pemburu ini) biasanya bawa senjata (senapan angin), itu untuk tembak Kuso,” lanjut Ismail.

Selain faktor manusia yang memburu hewan mamalia dilindungi undang-undang itu, hilangnya Kuskus Ternate juga disebabkan karena pengalihan fungsi lahan hutan dan kebun menjadi perumahan dan permukiman. Juga bertambahnya jumlah penduduk.

Ternate adalah salah satu kota di Provinsi Maluku Utara, Indonesia bagian Timur. Luasan kota berbentuk bulat kerucut itu hanya 5.795 km dan didominasi oleh laut. Sementara luas daratan 162 km. Sisanya laut yang mencakup 5.633 km dari luas pulau itu.

Secara administrasi, Kota Ternate terdiri dari 7 Kecamatan dan 77 Kelurahan. Sensus penduduk 2015 menyebutkan, populasi Kota Ternate adalah 212.997 orang dengan kepadatan rata-rata 1.315 orang per km. Orang dapat bermobil mengelilingi pulau tersebut sekitar 2 jam. Hilangnya flora dan fauna endemik di pulau ini disebabkan pengaruh alih fungsi lahan perkebunan dan hutan yang dahulunya masih lebat.

“Kuso ini kalau saya perhatikan (mengamati), itu tidak suka keramaian. Karena sebelum banyak rumah di Kelurahan Marikrubu dan Maliaro, Kuso masih banyak dijumpai dekat sini. Di pohon durian (duren) dan pohon nangka. Tapi semenjak banyak rumah, Kuso sudah jarang saya temukan,” ujar Ismail melanjutkan.

Meski belum beruntung menemukan Kuskus matabiru di hutan sekitar Tongole tempat habitatnya berkumpul, namun hewan mamalia tersebut masih berhasil diabadikan. Ismail memberi sinyal, kalau di lingkungannya, terdapat salah seorang pemuda Tongole yang memelihara hewan Kuskus. Ia adalah Rahmin Safrudin.

Lelaki 31 tahun itu saat disambangi di depan rumahnya, sedang membersihkan kendaraan roda dua. Suami dari Siti Nurhayati itu membenarkan, kalau dirinya memelihara dua ekor Kuskus, jenis laki-laki dan perempuan dari hutan Tongole.

“Iya. Boleh. Keduanya ada di atas pohon jambu,” kata Rahmin sambil menunjuk ke arah Kuskus matabiru, hewan peliharaannya yang dirawat cukup baik sejak 2012.

Rahmin mengaku senang dengan hewan peliharaannya. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek ini tidak tahu kalau Kuskus yang dijuluki Blue-eyed cuscus tersebut dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, dan memperniagakan (memperjualbelikan) hewan yang dilindungi.

“Sehari-hari saya beri makan pisang. Semua jenis buah juga dimakan. Kalau siang dia tidur. Biasanya sore dan malam hari sudah gelap baru keluar (beraktivitas). Setiap malam, atap rumah ini bunyi karena Kuso yang berjalan di atasnya,” ujar Rahmin.

Rahmin menceritakan, hewan peliharaannya itu pernah didatangi peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Juga salah seorang peneliti yang tidak diketahui lembaganya apa, pada 2017. Mereka mendokumentasikannya dalam bentuk foto. “Setelahnya yang satu minta untuk membelinya, tapi saya tidak mau. Peneliti itu bilang, Kuso jenis ini sudah dicari kemana-mana, bahkan sampai Pulau Papua, tapi baru ia temukan di tempat saya (Pulau Ternate),” kata Rahmin.

Abas Hurasan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Ternate BKSDA Provinsi Maluku menjelaskan, hewan Kuskus masuk kategori dilindungi. Setiap hewan yang dilindungi undang-undang jika ditemukan ada warga yang memeliharanya akan diambil.

Abas menyarankan pada warga yang ingin memelihara atau memperdagangkan hewan yang dilindungi, sebaiknya diambil dari proses penangkaran satwa itu. Meski begitu, sejauh ini untuk wilayah Provinsi Maluku Utara belum ada penangkaran satwa liar.

Abas menambahkan, keberadaan Kuskus matabiru ini merupakan endemik Maluku Utara yang hidup di hutan Pulau Ternate. Juga ada jenis lainnya yang hidup di hutan Pulau Sanana, Halmahera, Bacan, Obi, Gebe dan Pulau Morotai.

Abas mengatakan persebaran spesies tersebut di Maluku Utara memiliki 7 jenis. Untuk Kuskus (matabiru) ini nama latinnya Phalanger sp ternate. Punah dan menghilangnya beberapa jenis spesies endemik Maluku Utara, lanjut Abas, akan terjadi jika habitat hutan sebagai tempat tinggal spesies tersebut terancam.

DR M Natsir Tamalene, Ketua Pusat Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, dalam sebuah artikelnya menjelaskan, Kuskus adalah salah satu genera marsupial yang tergolong ke dalam Spilocuscus dan diklasifikasikan ke dalam keluarga Phalangeridae.

Bagi Natsir, Kuskus merupakan hewan mamalia berkantung yang endemik. Kuskus juga tersebar di wilayah Papua, Papua New Guinea, dan Australia (Menzies 1991, Petocz 1994 dan Flannery 1995). Selain tersebar di wilayah Papua, Kuskus juga dijumpai di wilayah Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan pulau-pulau Timor.

Ketua Program Studi Biologi Unkhair Ternate itu mengatakan Kuskus memiliki dua genus (marga), yakni Phalanger (Kuskus tidak bertotol) dan Spilocuscus (Kuskus bertotol). Kedua genus Kuskus ini ditemukan di Kepulauan Maluku, Pulau Halmahera, Bacan dan Pulau Morotai (Latinis K 1996).

Natsir menambahkan, Kuskus juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Hewan. Secara global dua genus Kuskus setempat di antaranya telah terdaftar dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

International Union Conservation of Nature yang menjadi organisasi yang banyak melakukan usaha konservasi flora dan fauna di dunia juga memasukkan Kuskus ke dalam redlist (buku merah), dan tergolong sebagai hewan vulnerable (terancam). Ini karena populasi Kuskus yang tersebar semakin berkurang jumlahnya.

“Hewan mamalia yang memiliki karakter morfologi yang mempesona ini karena wilayah persebarannya terbatas sehingga menjadi dasar penetapannya sebagai hewan yang dilindungi oleh pemerintah RI melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 247/KPTS/UM/4/1979,” lanjut Natsir ketika dihubungi Kieraha.com melalui pesan WhatsApp, Kamis (12/7/2018).

Kuskus, kata lelaki 35 tahun itu, cenderung hidup soliter dan beradaptasi pada hutan lebat, namun dengan pembukaan hutan dan perburuan liar menyebabkan Kuskus dapat berimigrasi ke wilayah lain. Perburuan liar terhadap Blue-eyed cuscus Pulau Ternate ini dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan populasi bahkan dapat mengakibatkan kepunahan spesies ini di masa mendatang. Sehingga perlu dilakukan studi mengenai sebaran, habitat, dan populasinya agar dapat menjadi sumber informasi, dalam upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk perlindungan dan pelestarian Kuskus di Pulau Ternate.

Tak Hanya Kuskus yang Terancam

Selain Kuskus matabiru, keberadaan flora dan fauna yang dilindungi undang-undang dan endemik di kota bermoto Bahari Berkesan itu memiliki ragam spesies lainnya.

Data Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Maluku menyebutkan di Pulau Ternate juga terdapat burung jenis Nuri dan Kakatua Putih. Keanekaragaman flora dan fauna ini pun sudah mulai jarang dijumpai di sekitar hutan pulau setempat.

Data SKW Ternate ini, juga menyebutkan keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di pesisir pantai laut Pulau Ternate. Keadaannya pun bernasib serupa. Bahkan, ikan laut jenis Duyung (Dugong) yang biasanya ditemukan bermain di depan Pantai Falajawa, Kelurahan Mahajirin, Kecamatan Ternate Tengah, pun sudah hilang.

“(Jadi) kalau (flora dan fauna) di Pulau Ternate itu bukan punah. Tetapi habitatnya sudah tidak ada jadi dia pindah ke tempat lain,” kata Abas begitu, ketika Kieraha.com menyebut jumlah spesies di kota bermoto Bahari Berkesan itu terancam punah.

“Kalau terumbu karang dan (ikan Duyung) itu biasanya dipicu karena adanya kapal-kapal. Iya (termasuk reklamasi pantai), sudah tentu mengganggu ekosistem yang bergantung hidup di sekitar (pesisir pantai Pulau Ternate),” kata Abas lagi.

Hutan di daratan Pulau Ternate hilang secara langsung telah melepaskan CO2, dan kehilangan hutan mangrove juga akan mempercepat pemanasan global. Dampak berdirinya bangunan fisik di pulau itu juga telah memicu banjir, tanah longsor, pemukiman kebanjiran dan abrasi, serta hewan endemik perlahan menghilang.

“Dampak ini pun sudah dirasakan oleh warga masyarakat Ternate. Bukan hanya hewan jenis Kuskus (Phalanger sp ternate) dan satwa jenis burung serta biota laut lainnya yang hilang dari habitatnya, tapi juga dampak banjir dan abrasi yang sudah terjadi,” kata Dedy Arif, Geolog Maluku Utara, ketika dihubungi di Ternate.

Benteng Pelindung Tinggal Nama

Dedy mengemukakan, perubahan tataruang kota Ternate telah berpengaruh pada hilangnya spesies-spesies tersebut. Dedy mengatakan perlunya langkah mitigasi yang dilakukan semua pihak. Sebagai upaya mengurangi risiko bencana dan kehilangan keanekaragaman hayati jenis flora dan fauna endemik Pulau Ternate.

Kepala Laboratorium Geologi UMMU Ternate itu mengimbau, warga masyarakat dan pemerintah kota agar pengembangan wilayah permukiman dan perumahan di daerah tatanan geologi yang rawan terhadap bahaya longsor, tidak melakukan perubahan alih fungsi lahan sebagai wilayah penahan laju erosi dan gerakan tanah. “Juga, harus melakukan penanaman pohon di wilayah punggungan dengan mengikuti pola tataruang yang ada,” Dedy melanjutkan.

Dosen Geologi Prodi Pertambangan UMMU Ternate itu meminta, sebaiknya pembangunan kota Ternate ke depan benar-benar didahului dengan kajian teknis yang obyektif dan profesional, sehingga Kota Ternate betul-betul menjadi smart terhadap bencana. Mengingat bencana alam akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan yang ada di kota tepi pantai yang kecil itu.

Proses pembangunan infrastruktur di Pulau Ternate, lanjut Dedy, semakin hari mendekati arah bukit yang sebelumnya perkebunan pala dan cengkih serta hutan alam tempat cari makan habitat mahluk hidup di sekitar. Sementara, di pesisir pantai ditimbun untuk pembangunan jalan, rumah toko, dan pusat-pusat perbelanjaan.

Dedy mengatakan reklamasi yang dilakukan juga telah menghilangkan ribuan pohon mangrove. Hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, mencegah terjadinya intrusi air laut dan penahan lumpur sekarang tinggal nama. Padahal, kawasan hutan dan mangrove yang menjadi pemukiman padat penduduk di Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Selatan itu merupakan rumah dan makanan bagi habitat mamalia dan jenis spesies darat serta biota laut lainnya di pulau setempat.

Dari sejumlah ragam hayati yang ada kini tak lagi dijumpai. Ternate yang dikenal sebagai pulau dengan tingkat keragaman jenis burung dan biota laut pun mulai menghilang. Padahal, Pulau Ternate dahulu pernah menjadi tempat studi dan pusat penelitian salah seorang Naturalis Dunia, Alfred Russel Wallace pada abad 19 tentang beberapa jenis spesies di Pulau Ternate.

Naturalis atau peneliti hayati asal Inggris itu melakukan jelajah ilmiah di Malaysia, Singapura, dan Indonesia selama delapan tahun pada 1854-1862. Di Indonesia bagian Timur, ia bertandang ke Pulau Ternate sampai delapan kali pada 1858-1861. Dalam kurun waktu itu, Wallace juga berjelajah ke Pulau Halmahera, Bacan, Makian, Ambon, Buru, Kei, dan Papua. Wallace menjadikan Ternate markasnya dalam mengadakan jelajah di Indonesia bagian Timur.

Di Ternate, Februari 1858, Wallace mengirim makalah panjang ke Charles Darwin, naturalis Inggris lain. Makalah itu menyangkut evolusi seleksi alami (evolution of natural selection). Inti teori ini ialah mahluk hidup berubah berdasarkan evolusi dan yang kuat akan bertahan. Waktu Darwin menerima surat ini Juni 1858, Darwin terperanjat dan panik. Temuan Wallace sejajar dengan teori yang Darwin sedang kembangkan yang kemudian menjadi buku yang diterbitkan pada 1859 dengan judul The Origin of Species (Asal Usul Spesies). Wallace menghimpun kumpulan 5.000 spesimen hayati (mamalia, insekta, burung, dan tumbuh-tumbuhan). Satu hewan yang ditelaah ialah Kuskus matabiru.

Pada tahun 1869, Wallace menerbitkan buku dalam dua jilid mengenai hasil jelajah ilmiahnya, dengan judul Malay Archipelago. Tahun 2019 merupakan peringatan 150 tahun terbitnya buku akbar Wallace itu. Lembaga ilmiah di Inggris akan merayakan peringatan itu.

Perhatian serupa dengan pelestarian ekosistem dan hayati endemik Maluku Utara yang dimiliki bumi para sultan di Moloku Kieraha (sebutan lain Maluku Utara) itu juga diabadikan oleh pemerintah RI dalam uang kertas Rp 1.000 berlatar Pulau Maitara, depan Pulau Ternate. Hewan Kuskus ini juga masuk dalam perangko PT Pos Indonesia terbitan 2012. Meski begitu, Kuskus yang ada dalam perangko itu adalah Kuskus Tutulhitam asal Pulau Papua.

Meski sejarah keanekaragaman hayati di Maluku Utara ini pernah ditulis oleh naturalis besar dunia, tetapi oleh pemerintah di daerah terkesan belum menunjukkan keseriusannya akan pentingnya menjaga hutan dan kelestarian keanekaragaman hayati. Bahkan, sejauh ini tak ada informasi dari badan ilmiah maupun pemerintah kota dan provinsi Maluku Utara yang akan memperingati 150 tahun terbitnya buku Malay Archipelago, karya akbar naturalis yang pernah menjelajah Nusantara, termasuk Maluku Utara dan tinggal di Kelurahan Santiong, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate saat ini.

Tentang peringatan tersebut, DR M Natsir Tamalene, juga mengemukakan sampai sejauh ini belum mengetahui adanya informasi terkait peringatan 150 tahun terbitnya buku Malay Archipelago, karya akbar naturalis asal Inggris itu.

Perhatian Pemerintah Daerah

Untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim akibat hutan dan mangrove ditebang, saat ini pemkot Ternate sudah melakukan beberapa langkah mitigasi. Menanam ribuan bibit mangrove di sekitar wilayah terdampak abrasi pantai di Ternate Pulau di antaranya. Bahkan, pemprov Maluku Utara melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, tahun ini berencana menerbitkan Peraturan Daerah Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Maluku Utara.

“Perda ini akan mengatur tentang penentuan alokasi ruang seperti wilayah zona tangkap, wilayah konservasi, ekonomi wisata, dan zona batas pesisir,” kata Buyung Radjiloen, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, kepada Kieraha.com.

Buyung menambahkan, pemberlakuan perda ini masih akan menyesuaikan dengan pola ruang di sepuluh Kabupaten Kota wilayah Provinsi Kepulauan itu. “Kalaupun ada pemda yang melakukan pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru maupun kegiatan reklamasi lainnya maka akan dikaji sesuai ketentuan Perda RZWP3K ini,” katanya.

“Artinya izin itu sudah pasti dikeluarkan oleh pemprov (pemerintah provinsi). Namun pembangunan yang baru nantinya tidak boleh berada di dalam wilayah konservasi. Kalaupun ada dan bertentangan maka akan ditolak,” lanjut Buyung memungkasi.

Menanam ribuan bibit mangrove dalam rencana zonasi wilayah pesisir ini belum cukup untuk melestarikan ekosistem dan hayati endemik Ternate. Pengajaran di sekolah-sekolah dan kampanye informasi publik lewat saluran pemerintah daerah dan media massa hendaknya berkelanjutan. Lewat kampanye itu, masyarakat Ternate perlu dibuat sadar dan bangga memiliki flora dan fauna khas yang tak ada di bagian lain dunia.

Gerakan melek kaya ragam hayati ini menjadi testimoni Ternate dan Maluku Utara dalam menghargai jasa ilmiah Wallace sembari memperingati 150 tahun terbitnya karya agungnya; Malay Archipelago.

Warief Djajanto
Editor