Perusahaan tambang nikel PT Karya Wijaya diduga melakukan pembangunan Jetty atau Terminal Khusus tanpa Izin Reklamasi dan tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Jetty tersebut dibangun di kawasan Desa Hubuile, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah.
Meski izin reklamasi dan PKKPRL belum dikantongi, tetapi PT Karya Wijaya tetap melaksanakan pembangunan reklamasi dan aktivitas bongkar muat material tambang, setelah menambang di kawasan Pulau Gebe.
Kegiatan tersebut menimbulkan pertanyaan besar terkait legalitas operasional jetty tersebut dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
“Saat ini perusahaan sudah menggunakan Jetty yang mereka bangun untuk bongkar muat material. Kami menduga mereka juga tidak mengantongi izin dari Direktorat Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan,” kata Ketua GPM Maluku Utara, Sartono Halek, di Ternate, Selasa kemarin.
Ia mengatakan setiap pihak yang memanfaatkan ruang perairan pesisir wajib memiliki KKPRL. Pemanfaatan ruang laut tanpa izin ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga dapat mengganggu hak-hak pihak lain, seperti nelayan, dan melanggar hukum terkait pemanfaatan ruang laut.
“Dengan demikian pembangunan Jetty PT Karya Wijaya telah melanggar hukum, bisa dikenakan sanksi pidana, kami minta aparat penegak hukum untuk segera menyelidiki kasus ini,” lanjutnya.
Lebih jauh, Sartono menambahkan bahwa aktivitas penambangan yang dilakukan PT Karya Wijayah di Pulau Gebe telah melangar UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K), yang secara tegas melarang penambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya tidak lebih dari 2.000 km². Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 kemudian memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Untuk itu, Sartono mendesak pemerintah agar segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Karya Wijaya. Tindakan tersebut dilaksanakan untuk memastikan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan dan kesehatan ekologi pesisir.
“Pemerintah tidak boleh diam. Kami minta agar ini menjadi perhatian khusus pemerintah. Apalagi, Presiden Prabowo sudah menegaskan akan membasmi tambang-tambang ilegal,” sambungnya.
Sumber internal Kementerian Perhubungan menyebutkan, untuk membangun Jetty harus melalui proses tahapan perizinan. Jetty tidak serta merta langsung dibangun tanpa izin dari negara. Menurutnya, sebelum dimulainya pembangunan Jetty pihak terkait harus mengantongi izin Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS).
“Khusus untuk Maluku Utara belum ada satu pun pihak swasta yang mengantongi izin TUKS,” ungkap sumber tersebut.
PT Karya Wijaya merupakan perusahaan tambang nikel yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Gubernur Maluku Utara pada 2020 hingga 2040. Sampai saat ini telah melakukan operasi produksi di atas wilayah konsesi yang diberikan.
BACA JUGA Tambang Milik Gubernur Diduga Picu Perubahan Warna Air Laut di Gebe
Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos memiliki saham sebesar 71 persen. Sementara tiga orang anaknya yakni Bennet Edbert Laos, Beneisha Edelyn Laos, dan Benedictus Edrick Laos masing-masing sebesar 8 persen.
Kieraha.com berusaha menghubungi pihak PT Karya Wijaya, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Malut Fauzi, serta Kepala ESDM Supriyanto Andili. Namun upaya konfirmasi terkait perusahaan tambang milik Gubernur Malut ini belum bersambut. *