Pulau Tidore di Ambang Kekeringan dan Land Subsidence

Avatar photo
Kalaodi, Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan merupakan salah satu kelurahan yang terdampak kekeringan pada musim panas/Hairil Hiar/kieraha.com

Perubahan iklim berkontribusi terhadap pemanasan global, yang memicu kekeringan. Di Pulau Tidore, kebutuhan air bersih setiap tahun selalu melonjak. Jika penggunaannya tidak terkontrol, bisa memicu defisit air pada tahun 2031. Selain itu, eksploitasi air tanah yang berlebihan membuat muka tanah menurun. Namun, dari sekian persoalan ini pemerintah belum punya kebijakan.

Sebanyak 2.655 orang di Pulau Tidore sulit memperoleh air bersih pada November 2023. Kelangkaan ini merupakan imbas dari musim panas yang berlangsung kurang lebih tiga bulan.

Ribuan jiwa yang terdampak kekeringan itu meliputi 800 kepala keluarga. Mereka tersebar di dua kecamatan di empat kelurahan, diantaranya Kelurahan Folarora, Gura-Bunga, Kalaodi, dan Topo Tiga. Wilayah-wilayah ini terletak di perbukitan, yang cuma berharap pada air hujan.

Pada bulan ketika warga di empat kelurahan itu kekeringan, kenaikan suhu bumi mencapai 2 derajat celcius. Selain fenomena El-Nino, biang kerok dari lonjakan suhu harian lainnya adalah kegagalan pembentukan kembali es laut setelah musim dingin, berkurangnya polusi aerosol, peningkatan aktivitas matahari, dan perubahan iklim.

Bahkan, perubahan iklim berkontribusi terhadap pemanasan global sebanyak 1,2 derajat celcius, sejak tahun 1860.

Menurut Robbani dkk., 2024 bahwa sepanjang tahun 1962 hingga 2021 terjadi peningkatan indeks risiko kerentanan iklim, meliputi banjir dan kekeringan. Dalam ploting alur per bulannya, riset ini menjelaskan rata-rata indeks risiko tiap bulan November lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya.

Penelitian berjudul Study of Climate Change Hazard Using the Climate Hazard Index in Indonesia ini menyebutkan, cakupan wilayah indeks bencana iklim atau CHI berkategori sangat tinggi berada di Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan sebagian Pulau Sumatera. Artinya, di wilayah-wilayah itu lebih beresiko terjadi kekeringan atau banjir setiap November.

Data BNPB menyebutkan jumlah bencana kekeringan di Indonesia pada Januari sampai November 2023 sebanyak 166 kejadian. Jumlah ini meningkat 97,59 persen atau 41 kali lebih banyak dari tahun sebelumnya, sekaligus yang terbanyak dalam tiga tahun terakhir.

Kekeringan yang melanda warga di beberapa tempat di Pulau Tidore itu bukan pertama kalinya, karena selalu berulang saat musim panas. Intensitas kekeringan setiap musimnya semakin rutin sejak tahun 2015. Bahkan, warga harus mengeluarkan ongkos ratusan ribu rupiah untuk menikmati air bersih setiap musim kering.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sjarif pun tak menampik hal ini. Menurut dia, menipisnya air bersih setiap musim itu, sebagiannya dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Sjarif bilang, pulau seluas 11.760,2 hektare ini punya keterbatasan area resapan air. Pulau yang menjadi pusat pemerintahan inipun dihuni lebih dari setengah penduduk Kota Tidore Kepulauan.

“Aktivitas pembangunan yang terus berlangsung, membuat daerah resapan airnya juga ikut menyempit. Selain itu, laju pertumbuhan penduduk pun memicu lonjakan kebutuhan air bersih,” ujar Sjarif, pertengahan Oktober 2024.

Katanya, di beberapa tempat yang lebih dekat ke pesisir pantai, banyak orang telah beralih dari sumur galian menjadi pelanggan PDAM.

Badan Pusat Statistik mencatat, persentase lonjakan pelanggan PDAM mencapai 42,33 persen dari tahun 2018 sampai 2022. Jumlah itu sejalan dengan peningkatan distribusi air bersih sebanyak 40,11 persen.

Kebutuhan air bersih yang tak terkendali bisa menjadi ancaman pada masa depan, menurut penelitian Malaka dkk., 2015. Jika jumlah eksploitasi air tanah ini terus meningkat, peneliti memperkirakan pada tahun 2031 ataupun 2032 neraca air di pulau seluas 42 kali Gelora Bung Karno ini bakal defisit.

Neraca air merupakan metode yang digunakan untuk mengukur banyak dan waktu ketersediaan air dalam suatu unit wilayah. Sedangkan, defisit air dapat terjadi bila kandungan air tanah yang ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air potensialnya.

Simulasi model neraca air ini dengan mengkalkulasi kondisi eksisting Pulau Tidore, serta jumlah penduduk, kebutuhan air, koefisien limpasan permukaan, dan curah hujan.

Dengan begitu, hasil penelitian ini menjelaskan terjadi penurunan ketersediaan air bersih seiring peningkatan kebutuhannya. Nilai indeks ketersediaan air (IKA) tak sampai 100 persen atau hanya 82,54 persen. Itu artinya bahwa IKA di Pulau Tidore hanya mampu melayani 82,54 persen kebutuhan air bersih.

Dengan demikian, Malaka et.al., mendesain tiga skenario kebijakan untuk menilai neraca air, diantaranya Business As Usualy yang menggambarkan kondisi kejadian saat ini tanpa ada pencegahan. Kedua, skenario reduce dan reuse, yakni desain penurunan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan fasilitas umum dan komersial.

Terakhir, dengan penghematan dan konservasi. Melalui cara ini pemerintah dapat menyelamatkan kebutuhan air pada 2032 dengan nilai IKA 117,92 persen. Skenario ini menekankan pada penghematan kebutuhan air sebesar 10 persen, serta konservasi yang meliputi reboisasi sebesar 10 persen, maupun 1 persen pembuatan sumur resapan dan 1 persen terasering.

Dalam bayang-bayang land subsidence

Eksploitasi air tanah berlebihan juga bisa memicu land subsidence (penurunan muka tanah). Heri Andreas, Pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung, menyatakan sekitar 112 daerah pesisir kota, perkotaan dan pedesaan Indonesia menghadapi penurunan muka tanah, disertai dengan kenaikan permukaan laut.

Menurutnya, situasi itu, khususnya tanah lunak, merupakan akibat dari eksploitasi air tanah maupun faktor alamiah lainnya seperti tektonik, dan ditambah lagi dengan pemanasan global.

“Nah ketika terus terjadi, fenomena ini berkombinasi akhirnya kita menemukan bencana terkait dengan subsidence dan banjir pesisir,” ujar Heri, awal September 2024.

Dari sekian wilayah penelitiannya di jalur pantai utara (Pantura) sepanjang tahun 2012 hingga 2020, Heri mengemukakan bahwa penurunan muka tanah tak hanya menimpa di bagian pesisir, namun juga di kota-kota yang jauh dari pantai, misalkan Bandung, Ngawi, Magetan, dan Madiun, di mana subsidence pun terjadi di persawahan.

Akibat dari hal ini, lanjutnya, kerugian material ditaksir melebihi Rp1.000 triliun. Nilai itu belum termasuk kerugian tidak langsung yang dapat terjadi karena bencana.

“Jika tidak ditangani dengan baik, kerugian di masa depan akan semakin luar biasa,” katanya.

Sepanjang penelitiannya, ahli Geodesi inipun belum menemukan regulasi dan lembaga untuk mengurus bencana tersebut. Selain itu, katanya, tidak ada pula sistem pemantauan demi memahami persoalan ini, juga menjadi masalah umum di Indonesia.

Pentingnya monitoring

Salah satu embung penampungan air hujan di Kelurahan Kalaodi, Kecamatan Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan/Apriyanto Latukau/kieraha.com
Salah satu embung penampungan air hujan di Kelurahan Kalaodi, Kecamatan Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Heri menerangkan, sistem pemantauan bencana sebagai awal dalam mendiagnosa masalah dan merencanakan langkah pencegahan dini merupakan salah satu kunci dalam melakukan adaptasi dan mitigasi. Hal ini, karena setiap masalah punya sebab dan solusinya masing-masing, yang tidak bisa disama-ratakan.

“Seperti di Pekalongan, dibuatkan tanggul tapi tanggulnya hilang lagi, kemudian di Jakarta juga sama ada kasusnya sudah dibuatkan tanggul tapi banjir robnya kembali terjadi,” sebutnya.

Dengan monitoring system, maka pemerintah dapat menghitung resikonya, serta punya ukuran guna menuntaskan persoalannya. Sistem inipun bisa untuk membangun pemahaman dalam melihat bencana subsidence tersebut.

Dengan demikian, kata Heri, sistem pemantauan juga akan sangat berkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah di setiap daerah. Atensi pemerintah inilah, yang menurutnya akan memberikan tanggungjawab kepada lembaga untuk mengambil tindakan yang diperlukan.

Namun, dari sejumlah wilayah yang pernah dirisetnya itu, Heri masih menemukan ketidakjelasan regulasi kab/kota ketika berhadapan dengan subsidence. Hal ini akan sangat berbahaya karena tidak ada agensi yang nantinya bertanggung jawab, itupun menjadi cermin dari tingkat pemahaman Pemerintah Daerah.

“Yang kita temukan bahwa saat ini memang rata-rata efektivitasnya belum maksimum, karena belum adanya regulasi yang jelas, agensi yang jelas yang bertanggung jawab,” jelasnya.

Dengan mengecualikan Jakarta dan Jawa Tengah yang sedang membangun sistem dalam mengatasi masalah itu, Heri mengungkapkan bahwa masih banyak daerah yang belum punya manajemen bencana, misalkan di pantai timur Sumatera, pesisir Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua.

“Jika tidak ada regulasi, tidak ada instansi berarti tidak ada program dan tidak ada anggaran, tidak ada sistem pemantauan, tidak ada pemahaman yang jelas tentang masalah ini, tidak ada proses mitigasi yang efektif dan banyak tidak pasti,” sebutnya.

Belum punya kebijakan

Bak penampungan air hujan warga di Kelurahan Topo Tiga, Kecamatan Tidore/Apriyanto Latukau/kieraha.com
Bak penampungan air hujan warga di Kelurahan Topo Tiga, Kecamatan Tidore/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Pengakuan Kepala DLH mengenai kekosongan regulasi sekaligus mengkonfirmasi temuan Heri. Meskipun Pemkot Tidore menyadari bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap kekeringan di wilayahnya, namun mereka belum punya langkah adaptasi dan mitigasi.

“Krisis iklim saat ini menjadi ancaman nyata. Walaupun dampaknya belum begitu dirasakan oleh warga Tidore, tapi kita juga perlu menyiapkan langkah adaptasi dan mitigasinya,” ucap Sjarif.

Sebelumnya, ia telah mengusulkan mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS khusus air. Namun, usulan tersebut belum menjadi bagian penting dalam kesepakatan dokumen lingkungan.

Saat ini pemerintah baru menyepakati KLHS, yang bersifat lebih umum, sebagai rencana kerja pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Daerah atau RPJPD.

“Berikut ini untuk RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) saya akan usulkan untuk KLHS khusus untuk air,” ujarnya.

Walaupun begitu, Pemkot telah mengeluarkan edaran yang kepada Pemerintah Desa maupun Kelurahan supaya meneruskan kepada warganya, untuk menyediakan sedikit wilayah resapan di rumah mereka.

Heri melanjutkan, kumpulan para ilmuwan bersamanya tengah menyiapkan white paper manajemen bencana subsidence. Secara tegas, di dalamnya memuat regulasi dan agensi yang dibutuhkan.

Dokumen putih ini akan menjadi prototype atau rancangan awal yang akan membantu pemerintah daerah mengambil langkah penanganan yang tepat, sesuai dengan hasil diagnosa. Prototype itupun akan ditawarkan langsung kepada pemerintah.