Pembajak Tuna di Laut Utara Halmahera

Avatar photo
Kapal perikanan pengangkut perahu pakura asal Bitung berlabuh di Pelabuhan Pendaratan Ikan Tiley, di Kabupaten Pulau Morotai/Apriyanto Latukau/Kieraha.com

IUU Fishing memicu konflik antara nelayan tradisional ikan Tuna Maluku Utara dengan kapal ikan asal Sulawesi Utara, di perairan laut bagian utara Pulau Halmahera. Meskipun peristiwa ini sudah menahun, namun Negara terkesan abai.

Nilai ekspor komoditas ikan Tuna Indonesia di kancah internasional cukup menggiurkan. Amerika Serikat, Jepang dan Arab Saudi adalah potensi pasar yang menjanjikan bagi Indonesia. Ekspor ikan Tuna Indonesia, khusus di AS saja mencapai US$920 juta, dan berpotensi meningkat menjadi US$931 juta setara dengan Rp 15,4 triliun.

Ikan tuna merupakan salah satu komoditas bernilai tinggi yang laris di pasaran. Namun di balik melejitnya bisnis perikanan di pasar global, tersembunyi bara konflik antar nelayan maupun praktek langgar aturan.

Pada awal Maret 2025, Kieraha.com berkunjung ke perairan Laut Halmahera sebelah utara, Provinsi Maluku Utara. Produksi komoditas Tuna di kawasan yang termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP-715 ini, mencapai 19.000 ton hingga 20.000 ton dalam setahun.

Selain itu, kawasan laut sebelah utara Halmahera ini juga merupakan bagian dari WPP-716 bersama dengan Laut Sulawesi.

Seiring dengan kekayaan sumber daya perikanan yang tersedia, bersamaan juga konflik antara nelayan tradisional setempat dengan nelayan asal Manado dan Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

Peristiwa teranyar, benturan dua kelompok nelayan di tengah laut ini terjadi pada akhir April 2025 kemarin. Sebanyak tujuh kapal perikanan jenis kesatuan armada pengangkut perahu pakura asal Bitung, yang diduga kerap memancing ikan di bawah 12 mil laut perairan Maluku Utara dan merusak rumpon, diserang nelayan Sangowo, Morotai.

Insiden tersebut merupakan puncak dari keresahan nelayan lokal. Mereka menganggap, aktivitas kapal tersebut mengancam penghasilan mereka. Meski Kepolisian setempat telah mengamankan situasi, namun para nelayan tradisional itu masih tidak puas.

“Sudah diamankan, tapi nelayan di Sangowo masih tidak terima baik,” ujar Aklim Arif, anggota Marnit Morotai Dirpolairud Kepolisian Daerah Maluku Utara.

Kehadiran pemancing pakura asal daerah berjuluk Kota Cakalang itu, juga dikeluhkan oleh nelayan di Kecamatan Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Mereka resah dengan aksi tangkap ikan yang dilakukan pada malam hari.

Cahaya putih kehijauan mencuat ke langit. Sinar berbentuk noktah dari arah timur laut Pulau Doi, Loloda Kepulauan ini semakin jelas, saat kapal yang kami tumpangi semakin mendekat ke pulau itu. Pijar lampu tersebar di beberapa titik. Nelayan setempat menggambarkan, permukaan laut akan mirip kota karena penuh dengan cahaya, bila sedang musim Tuna.

Bagi nelayan tradisional, seperti Ramlan (43), kehadiran pemancing pakura dari Bitung itu adalah petaka. Kapal-kapal tersebut berburu Tuna yang melintas di utara perairan laut Halmahera, setiap bulan Mei hingga Desember.

Setiap kapal induk berukuran lebih dari 30 Gross Tonnage (GT) ini, bisa mengangkut 8 hingga 12 perahu pakura. Lampu sorot mengelilingi badan kapal, dan membuat gelap malam permukaan laut menjadi terang.

Tak hanya menangkap ikan pada malam hari, katanya, kapal-kapal itu terkadang menggiring ikan menjauh ke tengah laut. Membuat nelayan setempat kesulitan memancing saat hari mulai terang. Padahal, sebelumnya ikan-ikan itu lebih mudah mereka pancing pada siang hari.

“Dulu kalau belum ada dorang (pakura), ikan makan di waktu pagi, cuma so ada dorang, torang (kami) nelayan-nelayan kecil su siksa (kesulitan),” ujar Ramlan, di rumahnya, Kamis malam, 6 Maret 2025.

Ada perjanjian Andon tapi macet

Pendaratan ikan oleh nelayan lokal, di Tempat Penampungan Ikan (TPI) Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara/Apriyanto Latukau/Kieraha.com

Sabiin Asar, Ketua Koperasi Nelayan Tuna Pasifik menilai aktivitas kapal yang keluar jalur tersebut merupakan indikasi kuat dari praktek ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau IUU Fishing. Menurutnya, hal itu merugikan nelayan sekaligus pemerintah daerah.

“Kapal besar itu dari Bitung dan hasilnya bongkar di Bitung, itu akan merugikan daerah. Kalau bisa, hasilnya di tangkap di Morotai, harus bongkar di Morotai juga, sehingga bisa mendorong atau meningkatkan pendapatan asli daerah, dan perusahaan di sini dapat menyerap tenaga kerja,” jelasnya.

Dia mendesak Pemerintah Provinsi Maluku Utara segera mengambil langkah tegas. Mengingat persoalan ini sudah berlarut-larut, dan tidak ada penyelesaiannya hingga sekarang.

Demi meminimalisasi benturan nelayan dan maraknya IUU Fishing, Pemprov Maluku Utara bersama Sulawesi Utara menginisiasi perjanjian antar kepala daerah, yang ditandatangani para gubernur pada tahun 2021. Salah satu kesepakatannya adalah mengenai perjanjian Andon.

Perjanjian ini memungkinkan nelayan dari Sulut maupun Malut, bisa memancing ikan lintas batas teritorial perairan laut kedua daerah ini.

Isi klausul perjanjian tersebut juga mengatur tentang kuota yang harus didaratkan di Maluku Utara, jika kapal-kapal asal Sulawesi Utara memancing ikan di perairan laut Maluku Utara ataupun sebaliknya. Serta, alokasi jumlah kapal dan penggunaan alat tangkap.

“Dalam arti bahwa berapa persen untuk Maluku Utara dan berapa persen lagi dibawa ke Sulawesi Utara,” ujar Ibrahim Asnawi, dari Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara.

Usai meneken perjanjian, sebanyak 18 kapal asal Bitung kemudian mendaftar ke DKP Malut untuk mendapatkan Surat Izin Penangkapan Ikan atau SIPI ANDON. Ibrahim bilang, pihaknya kemudian menerbitkan izin tersebut melalui Dinas PMPTSP Maluku Utara.

Namun, katanya, ketika kapal-kapal tersebut hendak menuju ke fishing ground sebagaimana isi dalam permohonan izin, pihak Syahbandar Pelabuhan Perikanan  Samudera Bitung enggan menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar atau SPB. Dengan alasan, kapal perikanan ini akan keluar dari zona penangkapan.

Bahkan, beredar kabar bahwa ketahuan ada dua kapal mencoba keluar diam-diam. Merekapun kena denda ratusan juta rupiah.

“Di situlah izin Andon tidak bisa jalan,” tambah Ibrahim.

Syahbandar Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Imam Muddin, menyatakan dia baru bertugas kembali di Bitung pada Mei 2023, dan tidak mengetahui persoalan tersebut.

“Akan kami kroscek dengan pendahulu kami,” singkatnya.

Marak pelanggaran tapi minim pengawasan

Rumpon tanpa identitas mengapung sekitar 1,93 mil laut arah timur Pulau Doi, di Kecamatan Loloda Kepualaun, Halmahera Utara/Apriyanto Latukau/Kieraha.com

Sebelum bentrokan antar nelayan pada April 2025 kemarin, Marnit Polairud Morotai lebih dari sekali telah mengamankan kapal yang diduga mencuri ikan di perairan laut dekat Pulau Morotai, sepanjang tahun 2024.

Pada April 2024, mereka mengamankan sebuah kapal asal Bitung, setelah ketahuan masuk hingga ke 10 mil laut. Kemudian, pada November 2024. Usai mendapatkan informasi dari nelayan, Polairud melakukan pengejaran terhadap enam kapal. Dua diantaranya berhasil kabur, sementara empat kapal lainnya sukses diamankan, beserta 70 orang kru dan kapten kapal. Semuanya berasal dari Bitung.

Bukan cuma itu, berdasarkan penelusuran kami di Global Fishing Watch atau GFW, menemukan adanya dugaan aktivitas penangkapan ikan di bawah 5 mil laut dari garis pantai Pulau Doi, yang dilakukan oleh kapal Mitra Sejati pada September 2024. Kapal berukuran 133 GT ini dilengkapi dengan alat tangkap Pukat Cincin.

Kapal perikanan dengan bobot bersih mencapai 59 ton ini, terdaftar di Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan atas nama perusahaan asal Bitung, PT Bintang Mandiri Bersaudara atau BMB.

Aktivitas Mitra Sejati sempat terpantau oleh nelayan sekitar. Enam orang warga dan nelayan yang kami temui di Pulau Doi, semuanya mengaku pernah melihat aktivitas Mitra Sejati dan kapal serupa lainnya. Kapal-kapal ini akan berlindung dari cuaca buruk di tanjung bagian utara pulau yang disebut Tungwai, ataupun di Pelabuhan Dama.

Berdasarkan citra satelit dari GFW dan pengakuan nelayan, Kieraha.com kemudian menuju ke dua lokasi terdekat di perairan laut yang pernah disinggahi Mitra Sejati. Kami menemukan, tak jauh dari dua titik awal terdapat dua buah rumpon tanpa identitas di koordinat 2.257294, 127.853251 dan 2.292558, 127.841443 arah timur dan timur laut Pulau Doi.

Kami mengukurnya memakai aplikasi Avenza, dan mendapatkan masing-masing rumpon tersebut berjarak 1,8 mil laut dan 1,97 mil laut dari garis pantai. Pengujian juga dilakukan dengan program pemetaan QGIS versi 3.40 dan hasilnya persis sama, yakni berjarak 1,90 mil laut dan 1,93 mil laut.

Belakangan, kami mengetahui dari warga setempat bahwa salah satu dari dua rumpon itu milik seorang oknum anggota TNI dari Satgas Batalyon Artileri Pertahanan Udara atau Yonarhanud 3/Yby yang pernah bertugas di Desa Dama pada tahun 2022 dan sudah pindah ke Bandung, Jawa Barat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatur zona dan jalur penangkapan ikan di perairan laut Indonesia melalui Permen KP Nomor 36 Tahun 2023. Beleid yang terbit pada November 2023 sekaligus membatalkan aturan sebelumnya itu, menata jalur penggunaan alat penangkapan ikan (API) dan alat bantu penangkapan ikan (ABPI), yang dibolehkan maupun tidak.

Dalam lampiran Permen tersebut melarang penggunaan Pukat Cincin di Jalur 1A sejauh 2 mil laut dari garis pantai dan sebagian Jalur 1B atau sejauh 4 mil laut, yang diukur dari titik terluar Jalur 1A. Merujuk dari ketentuan ini, aktivitas kapal Mitra Sejati terindikasi menabrak Permen KP Nomor 36 Tahun 2023.

Syahri Arif, dari BMB membantah bahwa kapalnya menangkap ikan di bawah 2 mil laut. Ketika kami menunjukkan tangkapan layar GFW, dia menyatakan, kapal mereka berlayar menepi ke darat mencari tempat perlindungan terdekat dari gelombang tinggi.

“Bisa kami pastikan, kapal kami tidak memungkinkan operasi di 2 mill dari pantai,” ucapnya.

Pemerintah daerah setempat sejak lama telah mengetahui dugaan pelanggaran di laut perairan sekitar. Dari laporan nelayan dan penangkapan kapal oleh Polairud maupun TNI AL merupakan bukti bahwa kejadian tersebut marak terjadi.

“Praktik illegal fishing sudah terjadi sangat lama, dan meresahkan nelayan tradisional, khususnya nelayan Tuna,” ujar Joppy Jutan, Kepala DKP Kabupaten Pulau Morotai, di ruang kantornya, Selasa siang, 11 Maret 2025.

Peta indikasi penangkapan ikan kapal Mitra Sejati dan letak rumpon di dekat Pulau Doi, Halmahera Utara.

Joppy mengatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena terbatas oleh aturan yang berlaku. Setelah pengesahan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, wilayah ruang laut sejauh 12 mil di bawah kendali Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Sudah berulang kali mereka berkoordinasi dengan Pemprov Malut, karena penangkapan ikan di luar jalur tangkap ini juga memengaruhi produksi perikanan tangkap di Pulau Morotai. Dalam keterangannya, Joppy bilang bahwa produksi tahunan pada tahun 2024 menurun, bila dibandingkan tahun sebelumnya.

“Biasa kita (produksi) antar pulau 1500 sampai 2000 ton, dia menurun menjadi 1200 ton,” tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Halmahera Utara, Junis Kojoba. Meskipun tak menyebutkan angka pasti, namun Junis mengklaim bahwa Pendapatan Asli Daerah atau PAD, khusus di bidangnya selalu berkurang.

Nelayan dan pemerintah daerah berharap kepada petugas Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan atau PSDKP agar rutin memantau perairan laut sekitar. Pasalnya, mereka menilai PSDKP jarang berperan, padahal persoalan ini adalah kewenangan lembaga tersebut.

“Jika negara tidak hadir di sana, maka prinsip perikanan berkelanjutan dan penciptaan keadilan dan kesejahteraan nelayan tidak akan terwujud,” lanjut Joppy.

Kieraha.com menyambangi kantor Satuan Pengawas SDKP Morotai, di Desa Sangowo pada 9 Maret 2025, namun tak berpenghuni. Menurut warga dan nelayan sekitar, petugasnya telah pindah ke Tobelo, Halmahera Utara. Kami menelusurinya, dan menemukan kantor Wilker Tobelo Satwas SDKP Morotai di Desa Gosoma, Tobelo pada Kamis, 13 Maret 2025. Situasinya pun sama.

Pada 16 April 2025, kami kembali mendatangi kantor itu. Bertemu dengan petugas bernama Mawan. Namun, dia enggan memberi keterangan, dan meminta kieraha.com menghubungi pimpinannya, Irfan. Hingga artikel ini ditulis, Irfan tidak merespon telepon dan pesan kieraha.com.

Permohonan wawancara dan pertanyaan pun dikirim ke UPT Stasiun PSDKP Ambon, serta pesan singkat kepada Kepala tim kerja Penanganan Pelanggaran Stasiun PSDKP Ambon Muhammad Effendi Sadjid.

Effendi mengatakan, dia akan memberitahukan kepada pimpinannya. Kami kembali menghubungi Effendi pada Kamis, 8 Mei 2025 melalui pesan singkat. Namun, ia tak membalas.

========

Liputan ini didukung oleh Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli