Pemanasan global mengancam satwa endemik Maluku Utara. Meningkatnya suhu laut dan darat dua kali lipat, menyebabkan peningkatan kepunahan sekitar 10 kali lipat pada spesies dengan risiko kepunahan yang sangat tinggi. Meskipun sudah ada Instruksi Presiden Nomor 1/2023 tentang Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Namun, kebijakan tersebut masih jauh dari harapan.
Para ilmuwan berpendapat bahwa dalam 500 tahun terakhir, sekitar 1.000 spesies di dunia telah punah. Musnahnya ragam kaya hayati ini disebabkan oleh penyakit, konversi lahan dan stres. Kepunahan tersebut, bahkan diperparah oleh perubahan iklim.
BACA JUGA Kala Blue-Eyed Cuscus Ternate Terancam Punah
Hal ini dijelaskan oleh Athanasios Valavanidis, Profesor dari Department of Chemistry, National Kapodistrian University of Athena dalam risetnya berjudul Global Biodiversity Decline and Human Induced Climate Change, pada tahun 2023.
Menurut Athanasios, perubahan dan krisis iklim telah mengubah ekosistem laut, darat dan air tawar di seluruh dunia, yang mengancam sekitar 1,75 juta spesies. Jumlah itu meliputi, 950.000 jenis tumbuhan, 19.000 ikan, 9.000 burung dan 4.000 mamalia. Serta, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi.
Ia menjelaskan, dengan kenaikan suhu rata-rata global di atas 1,5 derajat celcius telah mendorong penurunan jumlah biodiversitas, karena tidak mampu beradaptasi.
“Kenaikan suhu mempengaruhi semua jenis ekosistem melalui pergeseran distribusi spesies dan struktur populasi serta meningkatkan risiko kepunahan spesies,” ujarnya.
Saat suhu laut yang menghangat, lanjutnya, merusak ekosistem terumbu karang yang menjadi rumah bagi 3.000 spesies ikan dan makhluk laut lainnya. Meskipun kematian dan evolusi adalah proses alami. Namun, katanya, para ilmuwan telah memperkirakan bahwa sudah terjadi kepunahan ratusan kali lipat dibandingkan tingkat kepunahan alaminya, karena kerusakan habitat.
Hal ini sejalan dengan temuan Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC. Mereka merangkum penelitian yang meriset 177 titik terestrial, yang mencakup wilayah seluas 61.000 kilometer persegi atau 41 persen dari luas daratan global.
Pemetaan tersebut menghasilkan, pemanasan yang meningkat dua kali lipat akan menyebabkan peningkatan kepunahan sekitar 10 kali lipat pada spesies yang mempunyai risiko kepunahan yang sangat tinggi.
“Pada suhu pemanasan 1,5 derajat celcius, 2% spesies darat dan laut. Serta pada suhu 3 derajat celcius, masing-masing 20% dan 32% diperkirakan mempunyai risiko kepunahan yang sangat tinggi,” tulis laporan berjudul, Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability.
Benny Aladin Siregar, Maluku Island Coordinator Burung Indonesia, menyatakan bahwa pemanasan global berdampak langsung terhadap ekologi satwa liar. Menurutnya, perubahan cuaca ekstrim akibat perubahan iklim akan mengganggu rantai makanan.
Misalnya terhadap burung-burung migran. Ia mengemukakan, alasan burung ini berpindah yaitu mencari sumber pakan di daerah yang lebih hangat. Karena tempat mereka berkembang biak sebelumnya yang dingin.
“Perubahan iklim yang disebut global warming ini mengubah atau menggeser waktu. Yang normalnya, misalnya mulai berpindah itu bulan Agustus, September dan Oktober, malah menjadi lebih lambat atau lebih cepat,” ujar Benny kepada kieraha.com, di ruang kantornya, Selasa, 9 Januari 2024.
Menurutnya, Maluku Utara yang menjadi salah satu jalur migrasi burung-burung ini pun terkena dampaknya. Dalam perjalanan belasan ribu kilometer, burung migran akan kehilangan 2/3 berat tubuhnya. Sehingga burung itu akan mengisinya di tempat persinggahan.
Dengan kenaikan suhu permukaan air laut, bagi Benny, akan merusak rantai makanan hingga mempengaruhi ketersediaan pakan bagi burung-burung tersebut.
“Misalkan waktu cuaca panas kemudian ada alga-alga di laut berkembang biak lebih cepat. Alga itu saat berkembang biak membutuhkan oksigen. Jadi ketika dia berkembang biak, dia akan ambil oksigen di air, akibatnya ikan-ikan tidak kebagian. Jadi ikan-ikan mati,” tuturnya.
Ketersediaan stok makanan juga berpengaruh terhadap perkembangbiakan burung yang menetap di suatu wilayah atau penghuni hutan. Benny menemukan hal tersebut pada Kakatua kecil jambul kuning, di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
BACA JUGA Ancaman yang Mengintai Kepunahan Burung Endemik
Setelah meneliti selama empat tahun, ujar Benny, jenis burung ini akan sangat bergantung terhadap siklus berbunga dan berbuahnya pohon-pohon di hutan. Sementara itu, perubahan pola cuaca ekstrim karena pemanasan global telah mengganggu siklus tersebut. Dengan kekurangan pakan, membuat kakatua ini akan menunda pula waktunya untuk bertelur.
“Jadi sebelum berbiak mereka melakukan asesmen. Kalau mereka dapat sarang, kemungkinan berbiaknya naik sekian persen, terus kalau sarangnya bagus, naik lagi. Kalau tidak tersedia pangan atau pakan, atau terlalu jauh pakannya akan mereka tunda. Mereka nggak akan bertelur,” jelasnya.
Ia menyatakan, hal tersebut merupakan perilaku umum keluarga Kakatua. Lagak seperti ini, kemungkinan akan berlaku sama dengan jenis kakatua maupun burung paruh bengkok lainnya di Maluku Utara.
Spesies endemik lebih berisiko
Beban dua kali lipat bahkan dialami oleh satwa endemik. IPPC memperkirakan, sekitar 15-49 persen spesies endemik akan punah pada suhu global 3,5 derajat celcius. Sedangkan, bagi spesies non-endemik adalah sebesar 20 persen.
Dalam laporan lain berjudul, Survei Avifauna di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, Maluku Utara memaparkan bahwa ada sekitar 180 fauna endemik Maluku Utara. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 60 persennya berada di Pulau Halmahera.
Pulau yang luasnya hampir 27 kali luas Provinsi DKI Jakarta ini pun memiliki 33 fauna endemik di dalamnya, dan empat diantaranya adalah burung. Hal ini, menurut laporan tersebut, membuat pulau itu berperan penting bagi keterwakilan keragaman hayati, di daerah kepulauan Maluku bagian utara ini.
Benny melanjutkan, dengan penyebaran yang terbatas di daerah atau pulau-pulau tertentu, keberadaan satwa endemik akan sangat rentan. Salah satunya adalah burung Mandar gendang, selaku endemik Halmahera. Burung berkaki merah ini sangat mengandalkan hutan rawa Sagu sebagai habitatnya, akan sangat bergantung pada kondisi ekosistem alami yang basah.
“Kalau dari segi pemanasan global kenapa sangat mempengaruhi yang endemik tadi. Karena, peluang mereka untuk bisa bertahan hidup semakin sempit. Ruang geraknya sangat kecil, ketersediaan pakan, dan bisa dibilang dari populasi alaminya itu tidak banyak,” jelasnya.
Dewi Ayu Anindita, Ketua Halmahera Wildlife Photography atau HWP, punya pandangan serupa. Menurutnya, perubahan fenologi akan menyebabkan pergeseran siklus reproduksi dan pertumbuhan beragam organisme. Ditambah lagi dengan beberapa hama dan penyakit yang dapat mewabah, juga akan berkembang lebih cepat.
Dewi berkata, dengan laju kerusakan ekologi yang masif, perburuan dan perdagangan satwa liar, serta pemanasan global telah menjadi paket lengkap ancaman masa depan hewan endemik di Maluku Utara. Hal ini karena, katanya, komponen pendukung kehidupannya seperti habitat dan sumber pakan sudah rusak, bahkan hilang.
“Jika kita lihat kembali kondisi alam dan lingkungan yang ada di Maluku Utara, ditambah perburuan dan perdagangan terhadap satwa liar yang semakin marak. Dengan berjalannya waktu, maka masa depan satwa endemik secara perlahan bisa jadi akan menuju ke kepunahan,” ujarnya, di Ternate pada Minggu, 21 Januari 2024.
Tak hanya itu, lanjut Benny, ketimpangan jumlah pakan di hutan juga sangat berpengaruh terhadap relung ekologi. Misalnya, ketika terdapat salah satu spesies yang punya kelimpahan pakan di alam, secara otomatis meningkatkan jumlah populasi spesies tersebut.
“Kalau dalam ekologi itu, kalau ada salah satu yang tidak seimbang, yang lain pasti menutupi. Misalnya, di hutan itu populasi pemakan serangga segini, yang ini pemakan buah. Di saat pemakan serangga populasinya naik, pemakan buah pasti akan berkurang,” terangnya.
Kehadiran spesies pendatang yang invasif, menyebabkan terjadinya perebutan ruang hidup dengan jenis lain yang menetap. Kata Benny, ibaratnya manusia yang membutuhkan ruang hidup, hal itu juga berlaku bagi satwa liar. Apabila ketakseimbangan tersebut terjadi, satwa pendatang akan berperilaku menindas.
Kejadian semacam ini ditemukan pula oleh tim peneliti dari University of Florida, pada tahun 2023. Mereka mengungkapkan, perubahan pola cuaca dan meningkatnya cuaca ekstrim yang dipicu oleh pemanasan global memaksa satwa liar berpindah, mengikuti kondisi iklim dan komunitas vegetasi yang sesuai.
Para ilmuwan ini mempelajari perjumpaan antara Tikus hitam invasif, dengan hewan pengerat endemik Pulau Sanibel, di barat daya Florida, Amerika Serikat, yaitu Tikus padi Pulau Sanibel (Oryzomys sobat ustris sanibeli) dan Tikus kapas (Sigmodon hispidus insuliola).
Dari studi yang berlangsung selama tiga tahun ini, mereka menemukan bahwa kondisi lingkungan yang berkaitan dengan perubahan iklim kemungkinan besar mengubah distribusi satwa liar asli dan invasif.
“Kami juga menemukan interaksi spesifik antara spesies invasif dan spesies asli cenderung meningkat, seiring dengan prediksi kondisi lingkungan dalam skenario perubahan iklim di masa depan,” tulis penelitian berjudul Climate change likely to increase co-occurrence of island endemic and invasive wildlife tersebut.
Roda kebijakan macet
Pada bulan Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Jokowi memerintahkan Kementerian dan lembaga terkait, hingga Gubernur dan Bupati/Walikota agar melakukan koordinasi dan integrasi.
Khusus Pemerintah Daerah, Presiden mengarahkan supaya mereka memastikan pelaksanaan pengelolaan keanekaragaman hayati ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD. Serta, melibatkan masyarakat.
Namun bagi Benny, hal tersebut ibarat jauh panggang dari api. Menurutnya, hingga sekarang belum ada satupun instansi atau Pemerintah Daerah di Maluku Utara yang meratifikasinya ke dalam kebijakan di daerah.
“Memang bunyi itu sifatnya general, mengarusutamakan keanekaragaman hayati. Tidak spesifik, tapi itu bagus, harus umum sifatnya. Nanti dinas apa yang menerjemahkan bahwa untuk apa harusmemperhatikan ini. Tapi sejauh ini masih sama dengan sebelumnya,” ujarnya.
Ia menuding, pemerintah bahkan belum memahami bagaimana mekanisme pemanasan global bekerja. Hal itulah yang menjadi kelemahan pemerintah. Katanya, yang harus dipahami pemerintah adalah pemanasan global lebih dulu merusak ekosistem lingkungan seperti keragaman jenis satwa dan tumbuhan liar, sebelum mengganggu sektor ekonomi dan politik.
Sementara menurut Ketua HWP Dewi, Inpres tersebut masih belum menjadi perhatian bagi Pemprov Malut. Buktinya, masih banyak habitat satwa endemik maupun hewan yang dilindungi justru dirusak oleh berbagai aktivitas manusia, termasuk pertambangan.
“Belum melihat hal tersebut (pelaksanaan Inpres) nampak dalam kebijakan pemerintah (Provinsi Maluku Utara). Buktinya masih sering terjadi bencana ekologis di sekitar wilayah industri pertambangan,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara Samsu, saat ditemui kieraha.com menyatakan, yang menyangkut dengan kawasan hutan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pihaknya hanya menjalankan tugas berdasarkan regulasi yang ada.
Samsu juga belum dapat memastikan perkembangan pelaksanaan Inpres dalam APBD. Pasalnya, kata Samsul, dia baru saja menjabat beberapa hari sebagai pimpinan di dinasnya, dan belum membaca ploting anggaran tersebut.
“Saya baru masuk satu hari, tadi baru rapat. Saya kan belum lihat anggaran 2024 seperti apa, pelestariannya seperti apa. Jadi untuk program pelestarian keanekaragaman hayati itu nantikan bisa dengan kegiatan penanaman, mungkin itu salah satunya,” katanya.
Langkah maju
Untuk pelestarian keanekaragaman hayati di Maluku Utara, Dewi mengusulkan, agar pemerintah dapat melibatkan masyarakat serta berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dalam mengampanyekan agenda pelestarian tersebut.
Selain itu, lanjutnya, moratorium izin pertambangan yang merusak ekosistem hutan juga perlu dipertimbangkan. Mengingat, ongkos ekologi yang harus ditanggung kedepannya.
“Mengurangi izin-izin industri pertambangan yang sifatnya merusak alam Maluku Utara dan menerbitkan peraturan tentang perlindungan satwa liar beserta habitatnya,” tutur Dewi.
Lain lagi dengan Benny. Menurutnya, pemerintah juga seharusnya bisa menjadikan Key Biodiversity Area atau KBA sebagai acuan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Hal ini karena KBA merupakan lokasi penting secara global bagi konservasi Kehati.
Kawasan kunci yang disematkan oleh KBA Working Group ini bisa menjadi pijakan bagi pemerintah untuk pelestarian biodiversitas. Di Maluku Utara, kata Benny, terdapat 44 KBA, yang terdiri 27 KBA Daratan dan 17 KBA Laut. Dari jumlah tersebut, sudah beberapa kawasan yang menjadi cagar alam dan suaka marga satwa. Namun dari sekian banyak KBA, hanya sedikit yang dijadikan kawasan konservasi.
“Cuma di Indonesia mereka tidak pakai KBA itu. Mereka lihatnya, apakah status lahan itu hutan lindung, APL atau apa. Karena ini kebanyakannya APL dan hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang bisa dikonversi, maka akhirnya diizinkan sektor tambang,” jelasnya.
Sementara bagi Samsu, langkah lain untuk pelestarian biodiversitas di Maluku Utara adalah dengan merevisi tata ruang. Tentunya, hal itu juga akan melibatkan masyarakat dan seluruh stakeholder, dan kelompok kepentingan lainnya.
Meski begitu, ia mengingatkan, agar upaya tersebut pun harus mempertimbangkan regulasi yang berlaku, serta bisa menguntungkan semua pihak.