AJI Indonesia dan IJTI mengusulkan revisi tanggal peringatan Hari Pers Nasional yang dirayakan pada 9 Februari. Pada tanggal itu dinilai merupakan tradisi Orde Baru yang masih terbawa hingga sekarang.
Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan, usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional atau HPN dilakukan setelah melalui dua seminar yang khusus membahas soal itu.
“AJI dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) menilai peringatan HPN dengan memakai tanggal lahir satu organisasi wartawan, yaitu PWI, tidaklah tepat dan kurang strategis. Sebab, itu mengesankan HPN hanya milik organisasi tersebut. Faktor ini yang membuat sejumlah organisasi enggan terlibat dalam HPN,” kata Manan kepada Kieraha.com Selasa (17/4/2018).
Manan mengemukakan, faktor lain yang tak kalah penting adalah soal pelaksanaannya. Seperti layaknya peringatan hari besar nasional, pelaksanaan HPN perlu mencerminkan kondisi aktual dan tantangan kontemporer yang dihadapi pers Indonesia. Misalnya, soal kebebasan pers yang masih terancam karena banyaknya Undang-Undang yang bisa memenjarakan jurnalis yang terdapat dalam KUHP dan UU ITE. Juga, soal masalah profesionalisme jurnalis yang masih jauh dari harapan dan kesejahteraan jurnalis yang masih dalam taraf memprihatinkan.
“Begitu pula dengan media yang masih berjibaku dengan masalah ekonominya akibat turunnya media cetak dan belum ditemukannya model bisnis digital yang ideal. Sebagai hari peringatan profesi jurnalis, seharusnya HPN membahas topik-topik yang sedang dialami media dan jurnalis. Tapi dalam kenyataan, HPN tak banyak membahas soal-soal penting itu. Belum lagi soal banyaknya organisasi yang kemudian memakai acara HPN untuk minta uang ke pemda dan berbagai pihak dengan alasan untuk ikut HPN, yang itu tentunya menodai profesi jurnalis,” ujar Manan.
Manan mengemukakan, sejumlah soal itulah yang berkontribusi besar terhadap munculnya ide untuk merevisi tanggal HPN. Manan menceritakan, awal April lalu dirinya sempat diundang oleh sejumlah jurnalis senior TV, foto, dan cetak yang berdiskusi soal HPN di kawasan Tebet, Jakarta. Banyak pandangan sebaiknya peringatan HPN dihapus saja karena hanya memakai uang rakyat tapi untuk kegiatan yang lebih bersifat hura-hura dan tak jelas manfaatnya bagi kemajuan pers.
“Dalam kesempatan itu saya sampaikan, saya menghargai sikap itu. Namun AJI menilai HPN masih bisa memberi manfaat jika digunakan untuk rembug komunitas media dan jurnalis dalam membahas tantangan aktual yang dihadapi dan mencari solusinya bersama-sama,” kata Manan.
Rapat Bersama Dewan Pers
Menindaklanjuti usulan AJI dan IJTI, Dewan Pers akan melakukan rapat bersama di Sekretariat Dewan Pers, Jalan Kebun Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (18/4/2018). Rapat terbatas itu membahas usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional.
“Dalam rapat ini, akan disampaikan apa saja alasan utama kami sehingga perlu mengusulkan perubahan tanggal peringatan HPN. Di antaranya soal tanggal HPN yang mendasarkan pada kelahiran satu organisasi dan faktor pelaksanaannya yang dianggap kurang mencerminkan harapan komunitas pers dari sebuah acara nasional yang diperingati bersama. Kami juga akan sampaikan apa saja alternatif tanggalnya untuk menggantikan HPN yang selama ini diperingati setiap 9 Februari,” ujar dia.
Idealnya, sambung Manan, biaya pelaksanaan HPN juga harus ditanggung bersama. Kalaupun ada sokongan dari pihak luar, itu bukan menjadi sumber pendanaan utama. Ke depan perlu dipikirkan biaya pelaksanaan HPN yang ditanggung bersama komunitas media dan organisasi jurnalis, dan kegiatannya tak harus mewah.
“Karena lebih baik HPN dilaksanakan secara sederhana dari pada bikin besar-besaran tapi manfaatnya kurang dirasakan komunitas media, jurnalis, dan publik. Masih banyak masalah fasilitas umum yang belum bagus dan harusnya lebih diprioritaskan diperbaiki dengan dana APBN maupun APBD daripada mengalokasikannya untuk peringatan Hari Pers Nasional,” kata Manan lagi.
Redaksi