Proyek Strategis Nasional atau PSN Kawasan Industri Nikel Weda Bay di Halmahera Tengah menggusur kawasan perkebunan sagu masyarakat. Peraturan Presiden Jokowi itu memicu krisis pangan lokal, meningkatkan beban ekonomi keluarga petani, dan mengancam upaya penanganan tengkes. Namun, cara pemerintah untuk mengatasi kerumitan hidup masyarakat dengan merevisi RTRW dan perluasan kawasan persawahan adalah solusi palsu.
Fenias Nusu (80) telanjang dada. Sebelum menyilakan kami duduk, ayah lima anak ini, berbatuk. Petani sagu Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah itu, sudah hampir seminggu tak berangkat ke kebun karena sakit.
Rumah Fenias berdinding anyaman bambu dan dilapisi semen. Pada beberapa bagian, lapisan semen terkelupas sehingga mencuat bambu di baliknya. Cahaya matahari menembus ke dalam rumah dari situ. Hanya ada sepasang kursi plastik dilengkapi meja, televisi dan kipas angin.
Dari tempat kami duduk, pemandangan langsung menembus ke dapur melalui kusen pintu tak berdaun. Di antara ruang tengah dan dapur hanya dibatasi oleh sebuah tembok. Kediaman yang sudah dihuni Fenias bersama keluarga selama puluhan tahun silam ini, dibangun dari hasil mengolah sagu.
Sejak menginjak usia remaja, Fenias sudah diajarkan ayahnya mengambil sagu. Menjadi kewajiban setiap orang di kampungnya untuk punya keahlian tersebut.
“Jadi torang pe orang tua dulu-dulu, kalo tra tau ba ramas sagu, dorang pukul tangan (orang tua akan memukul tangan mereka apabila tak tahu memeras sagu). Makanya harus tahu,” kenangnya. Itu juga alasan mengapa Fenias tetap mengolah sagu hingga sekarang.
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) menjadi makanan pokok masyarakat setempat. Entah untuk bekal kala ke kebun, memancing, maupun di rumah. Demi mengganjal perutnya di kebun, Fenias punya kebiasaan membakar sagu. Hasil pembakaran itu dinamakan kukumane, dalam bahasa setempat. Caranya, perasan pati sagu dibungkus dengan daunnya lalu dipanggang. Pemanggangnya pun terbuat dari pelepah pohon sagu. Setelah matang, kukumane kemudian disantap dengan kelapa muda.
Selain itu, sagu juga kerap dipakai sebagai pelengkap ritual menjelang pernikahan. Di samping kemampuan mengolah sagu, bagi laki-laki yang ingin meminang kekasihnya wajib menyertakan tiga hingga empat tumang, atau pembungkus perasan pati sagu yang terbuat dari pelepah pohon rumbia, sagu berukuran besar sebagai ongkos lamaran.
Namun, semuanya berubah saat pembukaan lahan untuk pertambangan mulai masif sejak tahun 2018. Desa Gemaf berada tepat di bibir pusat industri nikel yang dikelola oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park atau IWIP. Kompleks hilirisasi nikel seluas 5.000 hektare ini merupakan Proyek Strategis Nasional yang diteken Presiden Jokowi dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2020.
Selaku pangan lokal, kini sagu mulai sukar ditemukan. Kalaupun ada, harganya selangit. Produksi lokal bahkan tak cukup, sehingga masyarakat berharap pasokan dari daerah lain, terutama dari Maba, Halmahera Timur. Adat nikahan yang sudah berlangsung turun-temurun pun hilang. Sagu sebagai mahar, tertukar dengan uang.
Dari sekian banyak lahan sagu yang dikelola Fenias sebelum hadirnya PSN kini sisa satu, yang luasnya tak sampai sehektar. Itupun menjadi lahan terakhir miliknya. Ia bahkan menjadi generasi terakhir petani sagu di kampungnya.
Imbas kehadiran PSN terhadap keberadaan pangan lokal juga dirasakan oleh warga Desa Lukulamo, Kecamatan Weda Tengah. Desa yang berjarak sekitar 9 km dari pusat industri ini, pun menanggung rugi akibat ongkos ekologi dan keberadaan pangan lokal yang mulai tersisih. Karena sebelum ada PSN, sepanjang jalan utama dari Lukulamo – Gemaf adalah kawasan rumpun sagu.
“Pengaruh perusahaan sangat terasa sekali, pohon sagu yang ada di pinggir-pinggir jalan dan tempat lainnya mulai hilang,” tutur Welhelmus Pata Pata, petani sagu di Desa Lukulamo, kepada kieraha.com pada akhir September 2024.
Semenjak kehadiran perusahaan, Welhelmus tak lagi rutin meremas sagu. Selain penyempitan lahan, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kobe sebagai penyedia air bersih juga ikut tercemar. Karena proses pemerasan dan penyaringan untuk memisahkan sari pati sagu dengan empulurnya membutuhkan air yang banyak. Dengan tercemarnya air, Welhelmus harus mencari sumber air lainnya. Apalagi, usianya yang sudah menginjak 74 tahun itu, ia mengaku kewalahan bila harus mengangkut air dari tempat lain.
Kecamatan tempat Welhelmus tinggal merupakan wilayah dengan kawasan sagu terluas, setelah Kecamatan Patani Utara. Luas perkebunan sagu di Weda Tengah sebesar 304 hektare atau 21,42 persen dari total luas kebun sagu di Halmahera Tengah pada 2023.
Ironisnya, kecamatan ini juga menjadi satu-satu kawasan yang kebun sagunya selalu menyusut setiap tahun. Bahkan, penyempitan lahan sagu di kecamatan tersebut paling besar bila dibandingkan dengan sembilan lainnya, dalam tiga tahun terakhir.
“Memang untuk Weda Tengah, menurut data kami, kawasan perkebunan sagu tidak bisa diharapkan lagi karena berubah hampir 180 persen,” kata Kisman Lasaidi, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Halmahera Tengah.
Tak hanya digusur untuk pembangunan smelter, menurut Kisman, perluasan wilayah pemukiman serta menjamurnya usaha kos-kosan dan pertokoan, demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan pekerja dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, turut membuat lahan sagu di Weda Tengah menyempit.
Generasi Terakhir Pembuat Sagu
Rata-rata petani sagu yang kami temukan di sekitar PSN berusia lebih dari 40 tahun. Paling muda di antara mereka adalah Abdurrahman Jaber (43), di Desa Sagea, Weda Utara. Mano, sapaan akrab Abdurrahman, menjadi satu-satunya petani yang masih rutin memeras sagu di desanya. Ini sudah dia lakoni dari 20 tahun silam. Keterampilan itupun diturunkan dari ayahnya, Jaber.
Pada Jumat pagi, 23 September 2024, Mano mengajak kami menengok goti (tempat produksi sagu) miliknya, yang terletak di sempadan Sungai Sagea. Seperti halnya yang dirasakan Welhelmus, produksi sagu Mano juga sangat bergantung dengan kondisi air sungai.
Dua hari sebelum kami berkunjung ke goti Mano, air Sungai Sagea berwarna kecoklatan. Dugaan kuat pencemaran sungai oleh warga di situ, dari aktivitas pertambangan yang menyuplai ore nikel ke PT IWIP. Karena sebelum adanya tambang, sungai lebih jernih dari biasanya. Warga menggambarkan bahwa akan kelihatan dasar sungai dari permukaan, jika air jernih.
“Koin yang jatong (jatuh) juga akan dapa lia (terlihat),” ucap Mano kala warna air belum keruh.
Keadaan sungai yang tercemar itu memaksa Mano menghentikan aktivitasnya beberapa hari. Ia takkan memproduksi sagu jika air terus keruh. Kalau dipaksakan, akan memengaruhi kualitas sagu.
“Air musti jernih, kalau dia kabur maka sagu akan kotor, karena tercampur dengan tanah,” katanya.
Perasan pati sagu milik Mano menjadi harapan terakhir, yang menyokong para pembuat sagu lempeng di Sagea. Layaknya Mano yang bergantung kepada air sungai, aktivitas pembakaran sagu oleh ibu-ibu di situ juga bertumpu pada Mano. Dengan menghentikan pemerasan, berarti tidak tersedia bahan mentah untuk pembuatan sagu lempeng.
Hal itu dialami oleh Samija, pembuat sagu lempeng di Desa Sagea. Saat ditemui di rumahnya, perempuan 50 tahun itu, menyatakan sudah tiga hari tidak lagi membakar sagu. Lantaran tak punya sagu mentah untuk dibakar. Ia menyesalkan kondisi air sungai, dan berharap agar kekeruhan air sungai tidak terus berlangsung.
Meskipun sudah puluhan tahun Samija bergelut dengan usahanya, namun belum sekalipun dia mendapat bantuan pemerintah. Apalagi air sungai yang lebih rutin keruh, serta tidak bisa diprediksi. Ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah kepada para pengrajin sagu.
Ekosistem pohon sagu berfungsi sebagai sumber pangan dan penyedia air bersih. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela. Menurutnya, pelepasan kawasan hutan akan menyebabkan pencemaran air permukaan tanah.
Sepanjang dataran Lukulamo hingga Gemaf merupakan wilayah landai dan berawa, sehingga banyak sagu di situ. Penyebab utama banjir karena banyak pohon sagu yang hilang. Sehingga tidak ada lagi penyaring ketika curah hujan tinggi ataupun luapan sungai.
Kehadiran perusahaan pun mengubah persepsi orang-orang mengenai sagu. Pada tingkat produksi, ancaman luas perkebunan menjadi hal paling mencolok. Selain itu, para generasi terakhir petani sagu juga mengeluhkan hal yang sama. Menurut mereka, pemuda sekarang tidak lagi tertarik membuat sagu. Dari kesaksian Mano, Welhelmus, dan Fenias diketahui bahwa masa depan pangan lokal di situ mulai suram.
“Anak muda sekarang so kurang makan sagu. Saya pe anak-anak me dong su tra tau ba halo sagu (anak muda sudah jarang makan sagu. Anaknya pun tidak tahu lagi membuat sagu),” ucap Fenias.
Sektor pertanian, perikanan, dan perhutanan sebagai primadona mulai ditinggalkan. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat, pada tahun 2018 hampir setengah dari total angkatan kerja di Halmahera Tengah bekerja di sektor produksi pangan ini. Namun, berkurang sebanyak 20,84 persen pada tahun berikutnya menjadi 28,61 persen. Pengurangan jumlah itu terus terjadi pada 2021, dan tersisa 21,53 persen.
Hal sebaliknya terjadi di sektor manufaktur, yang terus melonjak sejak tahun 2019. Peningkatan di sektor ini selalu bertambah setiap tahunnya dan menjadi dominan (39,44 persen) pada 2021. Sisanya, berada disektor jasa (39,03 persen).
Biaya Ekonomi Membengkak
Pada tahun 2019, pertanian menjadi penyumbang Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB terbanyak di Kabupaten Halmahera Tengah (21,93 persen), diikuti oleh administrasi pemerintahan (17,57 persen), serta pertambangan dan penggalian (17,28 persen). Namun hanya dalam kurun waktu dua tahun, nilai produksi sektor unggulan ini berkurang hampir empat kali lipat.
Sementara itu, untuk lapangan usaha industri pengolahan, maupun pertambangan dan penggalian melonjak drastis. Lonjakan ini kemudian menopang ekonomi di Maluku Utara. Pada 2022, ekonomi Malut tumbuh sebesar 22,94 persen sekaligus menjadi yang tertinggi di Indonesia. Industri pengolahan nikel di Halmahera Tengah menjadi salah satu penyokong utamanya.
Namun, sektor yang sedang naik daun itu tak mampu menyangga kondisi ekonomi warga. Halmahera Tengah masih menjadi daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi kedua dari sepuluh Kabupaten Kota di Maluku Utara, sejak enam tahun lalu. Setiap satu dari delapan penduduk wilayah setempat hidup di bawah garis kemiskinan.
Bagi Faizal, efek domino dari kerusakan ekologi adalah pembengkakan biaya hidup. Sebagian besar masyarakat di Halmahera Tengah bergantung hidup di kebun dan laut. Namun, industri ekstraktif telah merusak sumber pangan warga di situ.
“Kawasan industri di situ telah menggusur kawasan sagu dan mencemari air. Makanya bukan cuma sagu dan ikan, namun untuk kebutuhan air bersih pun masyarakat harus beli,” kata Faizal.
Menurutnya, ketika sumber pangan masyarakat telah hilang maka kita akan menghadapi ancaman selanjutnya berupa inflasi. Akibat dari banyak kebutuhan pangan masyarakat yang harus dipasok dari daerah lain.
Keluarga petani harus pontang-panting. Beban ekonomi bertambah berat bagi Marsolina Kokene (51), warga Desa Gemaf. Ia menyebutkan, dalam sebulan harus merogoh kocek lebih dari Rp 1 juta khusus untuk membeli beras. Itupun belum termasuk dengan kebutuhan non pangan lainnya.
“Kalau dihitung-hitung, Rp 5 juta dalam satu bulan tra (tidak) cukup,” lanjutnya.
Padahal sebelum konversi lahan, kata Marsolina, kebutuhan pangan mereka berasal dari kebun dan laut. Ia juga kerap mengambil sagu untuk konsumsi di rumah. Selain itu, ragam pangan lainnya seperti umbi-umbian, sayur, dan rempah pun cukup panen dari kebun.
Ancaman Penanganan Tengkes
Pemanfaatan pangan lokal dalam memberantas tengkes atau stunting merupakan program yang dijalankan Pemkab Halmahera Tengah. Jalannya program tersebut cukup berhasil di Kecamatan Weda Utara. Sejak tahun 2021-2024, jumlah balita tengkes berkurang 50 persen. Sekaligus, menjadi wilayah paling sedikit yang menderita tengkes.
“Berbasis pangan lokal yakni umbi-umbian, anak-anak stunting diberikan makanan tambahan setiap tiga bulan,” ucap Kepala Puskesmas Sagea Abdul Basit, di ruang kantornya.
Para penyintas juga diberikan protein hewani, meliputi telur dan ikan. Meskipun saat ini kebutuhan tersebut masih tercukupkan, namun kelimpahan ikan terasa mulai berkurang bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Basit tidak mengetahui pasti, apa penyebab dari pengurangan tersebut.
Menurut catatan Walhi, sekitar 900-an dari 1.400 desa di Maluku Utara berada di wilayah pesisir. Dalam sejarah kosmologi lokal, masyarakat sangat bergantung pada ekosistem laut. Selain faktor sejarah, laut juga berkaitan erat dengan pangan, seperti ikan.
Proyek reklamasi kawasan pesisir di situ, jelas Faizal, telah merusak ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan ikan, terumbu karang, dan lamun. Kehancuran ini, akan berpengaruh terhadap penanganan tengkes.
“Ini berarti akan berpengaruh terhadap angka stunting, karena sumber asupan protein hilang, karena pesisir dan perairan laut yang tercemar,” papar Faizal.
Imbas dari kerusakan pesisir pun dirasakan Marsolina. Perempuan yang sehari-harinya selalu melaut ini, mengemukakan bahwa dia harus mendayung perahunya lebih jauh dari bibir pantai supaya bisa memancing ikan. Sebelum kehadiran perusahaan, Marsolina bisa mendapatkan 20-30 kg ikan, dalam waktu lima jam.
“Sebelum ada perusahaan saya cuma panggayung (mendayung) perahu tak sampai satu kilometer, namun setelah ada perusahaan saya harus panggayung 2-3 kilometer baru bisa dapat ikan, itu pun tra (tidak) sama dengan yang dulu,” terangnya.
Oleh Faizal, situasi semacam itu merupakan pengabaian terhadap hak masyarakat untuk hidup layak dan nyaman, termasuk tidak terganggunya kebutuhan mereka. Gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah sekitar PSN adalah kejahatan lingkungan, yang terjadi secara sistematis.
“Dan saat ini, warga di lingkar tambang terganggu. Kalau bisa disebut, ini adalah kejahatan tersistematis oleh pemerintah di level atas melalui skema Proyek Strategis Nasional, maupun di level bawah,” ucapnya.
Solusi Palsu
Bagi pegiat lingkungan, sagu merupakan sumber pangan yang penting untuk dilindungi di tengah krisis iklim. Karena, jika penghilangan rumpun sagu dan sumber pangan warga tempatan semakin masif, maka kita akan berhadapan dengan krisis pangan.
Upaya saat ini, kata Faizal, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat. Sekaligus dengan itu juga menghancurkan ekologi, dan rakyat harus menanggung biaya pemulihan ekologi yang lebih besar dalam 10 tahun kedepan.
“Ini yang saya bilang, pemerintah gagal mensejahterakan masyarakat Maluku Utara, terutama rakyat Halmahera Tengah,” jelasnya.
Data Badan Pangan Nasional mencatat, Halmahera Tengah merupakan wilayah yang berstatus rentan pangan. Penyematan oleh BPN itu setahun setelah PSN ditetapkan. Nilai indeks ketahanan pangan (IKP) yang meliputi, ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan tak sampai 50 persen pada tahun 2021 dan terendah kedua di Maluku Utara.
Menurut Pemerintah Daerah, hal tersebut karena ketersediaan lahan untuk produksi pertanian di wilayah sekitar tambang mulai berkurang. Kisman menyatakan, Weda Tengah dan Weda Utara bukan lagi menjadi kawasan penyangga pangan, dalam revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah.
“Karena hasil pertanian di wilayah Weda Utara dan Weda Tengah tidak bisa diharapkan lagi,” ungkap Kisman. Katanya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah karena PSN adalah kebijakan Pemerintah Pusat.
Untuk itu, pemerintah tengah melakukan optimasi pertanian di wilayah transmigrasi Wairoro, Kecamatan Weda Selatan dan Waleh, Weda Utara. Dengan menggandeng TNI, Kisman bilang, mereka akan membuka lahan sawah baru di Trans Waleh.
Namun, hal ini ibarat solusi palsu. “Jika proses penyediaan pangan lokal masyarakat Halmahera Tengah tetap dilakukan, tanpa melihat investasi sebagai bagian dari penghancuran sistem tata ekologi, maka program itu adalah program yang sia-sia,” tegas Faizal.
Karena perluasan kawasan konsesi PT IWIP masif ke arah utara. Ini artinya, ia akan menyasar bagian hulu dari Trans Waleh. Sehingga, Faizal menilai, keputusan tersebut adalah potret kebijakan pemerintah daerah yang amburadul. Padahal dalam sejumlah klausul pasal yang tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pemda juga punya otonomi untuk mengatur kehidupan masyarakatnya.
Walhi menemukan bahwa banyak dari sumber pangan lokal yang tidak dicatat Pemerintah Daerah. Karena hanya ada data sumber pangan yang bukan asli Halmahera Tengah. Oleh karena itu, “Ada skenario negara, dalam konteks pemerintahan lokal, yang berupaya untuk menghilangkan nilai identitas masyarakat di Weda Tengah dan Weda Utara, yang saat ini berada di ring satu tambang,” tambahnya. *