Opini  

Tuhan Ada dalam Diri Orang Baik

Avatar photo
Sultan Husain Alting Sjah dan Muhammad Sinen/kieraha.com
Nurkholis Lamaau
Penulis

“Ngoni lawan Ayah ini, sama dengan ngoni lawan Tuhan, betul. Orang datang menangis deng orang pe susah, Ayah ini sudah yang lihat. Allah paling suka orang-orang begitu, Allah tara suka orang bicara sombong, Allah tara suka orang skakar bapak ibu saudara-saudara sekalian.”

Demikian penggalan kalimat Calon Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, saat bertatap muka dengan warga di Sofifi, Oba Utara, yang terekam video berdurasi 0.23 detik.

Video itu tidak utuh. Tapi kemudian tersebar di beberapa grup WhatsApp dan memantik beragam tanggapan, terutama pada kalimat “ngoni lawan Ayah ini, sama dengan ngoni lawan Tuhan.” Dari kalimat ini, kita bisa menguji dengan pendekatan bahasa, logika, dan agama tentunya.

Pertama, dalam aspek logika, Muhammad Sinen secara implisit mengakui bahwa Tuhan adalah satu-satunya dzat yang tak tertandingi. Artinya, ada tindakan selektif dari Muhammad Sinen dalam menarik apapun sebagai ukuran, untuk menunjukkan super powernya dalam konteks politik.

Mengambil Tuhan sebagai ukuran untuk memperkuat status dan posisinya sepintas sama dengan peristiwa Raja Babilonia, Namrudz tatkala berdebat dengan Nabi Ibrahim Alaihisalam.

Bedanya, Namrudz mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang maha mematikan dengan membunuh seseorang lewat tangan algojonya, dan maha menghidupkan dengan membiarkan seseorang hidup bebas. Tapi Namrudz sendiri menyembah berhala. Sedangkan pernyataan Muhammad Sinen tidak dalam konteks itu.

Dalam keseharian, seringkali kita mendengar tuturan seperti ini, “ngana mau lawan dia? Itu sama deng ngana lawan Tuhan.” Artinya, sifat ke-Maha-an yang melekat pada Tuhan selalu menjadi ukuran ketika perdebatan merujuk pada kekuatan (power).

Jika dicermati mendalam, satu pengakuan yang secara sadar keluar dari isi pikiran Muhammad Sinen adalah, meniadakan sesuatu apa pun yang mudah rapuh. Itulah mengapa, Muhammad Sinen menyisipkan Tuhan dalam kekuatan (person power) untuk memperkuat basis argumennya.

Ketika Muhammad Sinen melanjutkan dengan kalimat “orang datang menangis deng orang pe susah, Ayah ini sudah yang lihat. Allah paling suka orang-orang begitu, Allah tara suka orang bicara sombong, Allah tara suka orang skakar bapak ibu saudara-saudara sekalian”, itu berarti Muhammad Sinen sebagai seorang manusia yang lemah, mengakui bahwa Tuhan semesta alam menyukai sifat-sifat seperti yang diutarakan. Ini tidak bisa dibantah.

Tapi kemudian menjadi kontroversial ketika pernyataan itu keluar dari mulut seorang politisi seperti Muhammad Sinen. Sebagai seorang kandidat calon wali kota dengan hasil survei tertinggi, tentu pernyataan-pernyataan itu cukup mudah untuk diserang.

Dari aspek bahasa, Muhammad Sinen sedang tidak melakukan upaya personifikasi sebagai Tuhan yang wajib disembah. Karena Muhammad Sinen tidak menyebut atau mengklaim kalau dirinya adalah Tuhan. Hanya saja, sebagian orang terjebak pada teks, sehingga Muhammad Sinen kemudian digiring, alih-alih dipahami, pada premis-premis yang keliru; Muhammad Sinen dipandang menyamakan dirinya seperti Tuhan yang dalam konteks agama adalah dzat yang mutlak untuk disembah.

Peristiwa ini kemudian mengingatkan saya pada sebuah dialog dalam film Bollywood berjudul Rab Ne Bana Di Jodi.

Dalam cerita, seorang wanita yang diperankan oleh Anushka Sharma bertanya kepada si pria yang diperankan oleh Shah Rukh Khan, “mengapa engkau mencintaiku?”

Shah Rukh Khan kemudian menjawab, “karena aku melihat Tuhan di dalam dirimu.”

Bagi sebagian orang, kalimat itu tampak seperti rayuan atau gombal belaka. Tapi sebenarnya kalimat itu menukil dari ajaran para sufi. Salah satunya adalah penjelasan dari Al-Ghazali, bahwa Tuhan merupakan satu-satunya wujud. Sedangkan wujud selain Tuhan adalah derivasi dari wujud Tuhan.

Analoginya, wujud dari makhluk ciptaan Tuhan seperti cahaya rembulan, sedangkan cahaya rembulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Artinya, wujud seluruh makhluk di alam semesta merupakan refleksi dari wujud Allah SWT yang Maha Wujud.

Di sini, setiap wujud dari makhluk seperti petunjuk kecil yang kemudian mengarah pada keberadaan wujud yang sejati. Wujudnya makhluk bergantung pada wujud Allah SWT dan bersifat kontingensi atau keadaan yang tak pasti. Karena wujudnya makhluk bisa ada dan tiada (fana). Sedangkan Allah SWT merupakan satu-satunya wujud yang mutlaq.

Penjelasan Al-Ghazali mengenai hubungan antara wujud makhluk dengan wujud Allah SWT inilah yang oleh Ibnu Arabi diistilahkan dengan Wahdatul Wujud, atau manifestasi Tuhan dalam keseluruhan makhluk ciptaannya.

Kedua tokoh ini berangkat dari Hadits Qudsi yang terkenal di kalangan para sufi, “Aku adalah harta simpanan yang tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk diketahui. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Aku kemudian mereka mengenal Aku.”

Konsep Wahdatul Wujud ini secara luas seharusnya mampu membangun kesadaran dalam diri kita, bahwa segala hal yang ada di dunia ini merupakan bagian dari Allah SWT.

Sedangkan persoalan kalimat “ngoni lawan Ayah ini sama deng ngoni lawan Tuhan” adalah peristiwa yang tidak bisa dipahami sebatas teks. Wallahualam