Luapan Banjir Saloi dan Akejira bagi Warga Trans di Halmahera Tengah

Avatar photo
Istri Wijiman, Nuryati saat mencari ikan yang terbawa banjir di sela-sela tanaman padi, di Desa Woejerana, Weda Tengah, Minggu 12 September 2021. (Jainudin Sofyan/Kieraha.com).

Angin bertiup pelan. Bersama Jainudin Sofyan, Sekertaris Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) Tidore, kami tiba di Satuan Pemukiman 2 Trans Kobe, Desa Woejerana, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Minggu, 12 September 2021.

Waktu masih menunjukkan pukul 11.25 WIT, panas matahari membuat kami berteduh. Beberapa meter di depan kami, berdiri tiga gubuk tua di antara hamparan ladang yang ditumbuhi semak. Di sebelahnya, kurang lebih tiga petak sawah dan 13 Kolam Ikan Nila milik Wijiman, warga Desa Woejerana.

BACA JUGA Upaya Pemda Halmahera Tengah Atasi Banjir di Wilayah Lingkar Tambang

Wijiman adalah pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur. Pada 2002 ikut transmigrasi bersama 26 kepala keluarga dari Surabaya ke Halmehera Tengah, Maluku Utara untuk bertani.

Siang itu, Wijiman bersama istrinya Nuryati sibuk menangkap ikan dari dalam kolam.

“Dari Surabaya kami bawa cangkul, parang, dan arit. (Perkakas) ini untuk bertani,” ujar Wijiman, kepada kieraha.com.

Pertama kali tiba di Weda Tengah, Wijiman ingin kembali ke Surabaya, namun kata orang-orang kampung setempat bahwa ada perusahaan tambang yang akan masuk ke wilayah itu.

“Mereka bilang kita akan dipekerjakan di perusahaan, tapi sekarang saya sudah 60 tahun,” tutur Wijiman dengan mata berkaca.

Guratan wajahnya yang keriput merupakan gambaran nyata usia senjanya. Lelaki ini tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Harapannya untuk bekerja di perusahaan tambang nikel pupus karena ketika perusahaan itu beroperasi ia telah berusia lanjut. Tidak ada pilihan lain baginya selain tetap bertahan hidup sebagai petani dan mengelola lahan seluas 1,75 hektare. Terdiri dari sawah yang ditanami padi serta kolam ikan hingga bisa diwariskan kepada anak cucunya.

Akses menuju Desa Woejerana tidaklah mudah. Kita harus menempuh perjalanan sejauh 6 kilometer dari Dusun Lukulamo, Kecamatan Weda Tengah dengan kondisi jalan yang berlumpur dan berbatu. Setidaknya terdapat dua buah jembatan darurat terbuat dari bahan kayu dengan lebar sekitar 1 meter dan panjang 7 meter harus dilalui.

Alasan akses pasar untuk hasil panen petani dan jalan yang masih sulit membuat sebagian besar kelompok transmigrasi dari Surabaya tidak mampu bertahan dan pulang ke daerah asalnya.

“Sekarang yang tersisa 3 KK (kepala keluarga),” sambungnya.

Sering Terjadi Banjir

Wijiman menunjukkan karung pakan ikan, Minggu 12 September 2021. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Petaka banjir yang terjadi pada 6 September 2021 kemarin masih menyisakan jejak. Pada dinding gubuk yang terbuat dari triplek beratapkan seng bekas masih terlihat jelas. Tingginya sekitar 70 cm dari atas tanah. Awalnya, air kolam ikan yang jernih kini berwarna cokelat pekat. Juga, rumput jarum dalam kondisi tertidur rapat dengan tanah membentuk pola jalan air.

“Itu adalah sisa pupuk yang diseret banjir,” kata Wijiman, sambil menunjuk ke arah tumpukkan 3 buah karung di samping kolam.

Wijiman menceritakan, dua hari sebelum banjir melanda, dirinya telah merasakan akan terjadi demikian. Bersama istrinya, mengevakuasi jaring dan pakan ikan lebih awal.

Banjir tersebut terjadi sekitar pukul 01.00 WIT dan surut pada pukul 04.00 dinihari. Namun, pada pukul 07.00 pagi, banjir yang kedua terjadi lagi dan merendam seluruh desa. Akibatnya warga tak sempat mengevakuasi barang-barang milik mereka. Sumber kedua banjir tersebut berbeda. Pertama berasal dari luapan air Kali Saloi dan kedua dari Sungai Akejira.

BACA JUGA Kejayaan Cengkih Pulau-Pulau di Bawah Angin yang Hilang

“Dulu banjir di sini tidak pernah, kalau terjadi sebatas sampai di kali dan tidak (meluap) ke sini,” terang Wijiman dan istrinya.

Wijiman menyatakan, awal kedatangannya di Halmahera Tengah 19 tahun silam, banjir telah terjadi, namun dalam fase setiap 4 tahun sekali dan tidak separah tahun 2021.

Banjir terparah mulai terjadi sejak tahun 2020, menggenangi rumah serta lahan milik warga desa setempat.

Gagal Panen

Wijiman dan keluarganya untuk kesekian kalinya dipaksa harus bersabar karena kehilangan sumber kehidupan mereka. Ikan Nila yang dijadwalkan panen pada bulan Desember 2021 terpaksa gagal disapu banjir. Padahal, untuk perawatannya dibutuhkan proses yang panjang dengan ongkos yang tidak murah. Mulai dari pemupukan pada kolam untuk menyuburkan lumut, pemberian pakan ikan, hingga obat penahan rasa lapar.

“Harus dirawat seperti bayi yang baru lahir,” katanya.

Air kolam ikan yang berwarna cokelat akibat banjir, Minggu 12 September 2021. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Wijiman mengatakan, pemberian pakan ikan tidak boleh lebih atau kurang. Karena apabila kekurangan, ikan justru kelaparan sehingga mengganggu tumbuh kembangnya. Sebaliknya, apabila berlebihan, sisa pakan yang tidak dimakan tersebut akan tenggelam dan menjadi racun yang dapat meracuni ikan.

BACA JUGA Cara Warga Kalaodi Tidore Menjaga Pangan dan Hutan

Dalam sehari, Wijiman biasa memberi makan ikan miliknya dua kali. Untuk kebutuhan pakan ikan dalam sebulan, katanya, dibutuhkan sekitar 4 karung berukuran 30 kilogram dengan harga sebesar Rp 450.000 per karung. Ditambah dengan obat penahan rasa lapar yang harganya mencapai Rp 800.000 per liter. Sementara, untuk panen ikan tersebut dilakukan empat bulan sekali. Namun akibat banjir tersebut, Wijiman harus menanggung rugi hingga puluhan juta.

“Gagal panen ini juga terjadi pada bulan September tahun kemarin,” tambahnya.

Hairil Abdul Rahim
Editor