Natalia Nari Cahterine menangis. Perempuan yang sudah empat tahun menjajaki Pulau Daga Kecil, Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, itu tak kuasa menahan air matanya, kala mendengar warga kampung nelayan Daga terusir.
Ancaman pengusiran itu sebelumnya sudah disampaikan tujuh bulan lalu oleh Bupati Halmahera Selatan Bahrain Kasuba. Ancaman tersebut terjawab sudah. Rumah-rumah penduduk kampung nelayan setempat dibongkar dan dibakar.
Natalia adalah salah seorang CEO PT Leadership Island Indonesia (LII) yang melakukan survei keindahan alam dan laut Kepulauan Widi. Perusahaan asal Inggris ini diberikan hak oleh pemerintah provinsi Maluku Utara untuk mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun. Kepulauan Widi akan dijadikan pusat ekoturism dan bahari.
BACA JUGA
Mengintip Nasib Nelayan di Pulau ‘Surga’ Halmahera
Bantuan Nelayan di Pulau Surga yang Terlupakan
Begitulah, sedikit cerita tentang Natalia Nari Cahterine, yang dikemukakan La Siani, salah seorang nelayan Daga Kepulauan Widi, Kecamatan Gane Barat Selatan, ketika disambangi KIERAHA.com, di Pulau Daga Kecil, Sabtu sore, 28 Oktober 2017.
Rumah La Siani sebelum satu bulan pelaksanaan event Widi International Fishing Tournament atau WIFT pada 25-29 Oktober 2017, berada tepat berhadapan dengan dermaga Daga, Kepulauan Widi. Saat ini, rumah La Siani dan 10 rumah lainnya yang terbuat dari papan dan beratap daun rumbia sejak puluhan tahun itu tinggal cerita.
“Sudah dibongkar. Sebagian dibakar,” kata La Siani, begitu diminta menceritakan rumah miliknya yang dibangun sejak 16 tahun lalu kini sudah digantikan dengan rumah berupa home stay mewah yang ditempati gubernur Abdul Gani Kasuba saat ivent WIFT 2017.
Lelaki 68 tahun yang mempersunting wanita asal Gane itu, sepertinya trauma. Hanya bisa memendam asa yang dirusak oleh pemerintah daerah setempat.
Empat Malam Penuh Duka
La Siani menceritakan, selama empat malam, setelah rumahnya dibongkar, ia bersama istrinya dan warga yang lain tidur beralas tanah di bawah pohon.
“Kami tidur di bawah pohon cemara. Lantai pakai papan. Ada terpal yang kami gunakan sebagai pampele (penghadang hujan dan panas),” kata La Siani.
Rumah La Siani yang ada saat ini baru terdapat lantai papan berbentuk panggung yang beratap terpal bekas. “Kalau (terpal) baru ini dikasih ibu Natali,” ujar dia.
Lantai rumah yang baru didirikannya sejak 5 hari lalu itu pun belum dilengkapi dinding dan dapur. Mereka tidur, memasak, dan makan di atas lantai rumah itu.
“Seperti inilah keadaan saya dan istri sekarang ini. Rumah-rumah yang sudah ada sejak puluhan tahun hanya kenangan bagi kami,” kata La Siani.
Sebanyak 15 kepala keluarga yang terasing saat ini. Sebagian besar kepala keluarga di pulau setempat memiliki anak 3 sampai 5 yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Seluruh penduduk di kampung nelayan itu menetap di Pulau Daga Kecil untuk mencari biaya pendidikan anak-anak mereka dan makan sehari-hari.
La Siani, saat ditunjukkan gambar rumah yang pernah dihuninya bersama istri dan anak-anaknya itu, tak mau mengintip. Ia hanya merunduk. Tak lama kemudian meneteskan air mata. “Saya tidak mau lagi lihat gambar rumah saya (sebelum dibongkar). Tidak mau lagi,” ucap La Siani yang terus merunduk.
Lelaki berusia senja itu tak kuasa menahan air matanya. Kesedihan terpancar dari raut wajah La Siani, lelaki asal Buton, Sulawesi Tenggara itu.
Dia menceritakan, saat pembongkaran dilakukan, sebagian warga pemilik rumah sedang melaut. “Mereka tidak ada di tempat saat pembongkaran. Kalau saya ada, dan saya memilih bongkar sendiri (tak ada pilihan lain). Saya tidak mau mereka bongkar karena saya sendiri tidak tegah lihat orang lain bongkar,” sambung dia.
“Mau bagaimana. Kami orang biasa. Kalau sudah mau pemerintah seperti itu mau bagaimana. Maunya kami ya jangan bongkar. Kami bermukim di sini sudah puluhan tahun. Kami tidak tahu kalau di sini akan dijadikan tempat wisata seperti ini.”
La Siani mengemukakan, sebelumnya, Natalia Nari Cahterine, berencana akan menjadikan kampung nelayan tersebut sebagai desa wisata.
“Itu kalau pariwisata yang dibangun ini sudah jadi,” kata La Siani.
“Kami sering diajarkan bahasa inggris. Makanya istri saya bisa sedikit-sedikit, meski banyak yang tidak dimengerti, tetapi kadang dikasih arti oleh ibu Natali.”
Rp 10 Juta Per Unit
Rumah-rumah yang dibongkar tersebut sudah dilakukan ganti rugi. Melalui pemprov Maluku Utara dibayar tunai sebesar Rp 10 juta per unit.
“Uang Rp 10 juta sudah dikasih tunai. Semua ada 11 unit. Itu dari orang provinsi yang kasih, saya tidak tahu namanya. Saya terpaksa terima karena seluruh warga sudah terima. Karena terima atau tidak rumah sudah dibongkar,” ujar La Siani.
Uang ganti rugi tersebut apabila disesuaikan dengan ongkos membangun rumah baru berbahan papan dan daun rumbia di kawasan Daga Kecil tidak lah cukup.
“Untuk belanja papan saja saat ini Rp 1,2 juta per kubik. Sementara punya saya kalau lantai saja itu bisa 3 kubik lebih. Kalau papan untuk dinding satu kubik, kemudian atap itu kita beli per lembar saat itu Rp 3 ribu dengan jumlah 300 lembar.”
“Belum lagi biaya bensin dan ongkos sewa motor (katinting) yang angkut semua bahan dari Desa Gane Luar ke Pulau Daga Kecil sebanyak empat kali PP. Belum lagi paku dan kebutuhan yang lain. Karena itu uang Rp 10 juta tidak cukup.”
“Apalagi kalau dengan harga bahan yang ada sekarang ini,” sambung La Siani.
Hal senada dikatakan Haji Hasim, salah satu warga kampung nelayan yang sudah empat tahun menetap di Pulau Daga Kecil. “Pasca pensiun dari PNS, saya memilih menetap di pulau ini dengan membangun rumah, namun rumah saya dibongkar dengan janji sebelum dibongkar dibangun di lokasi yang lain,” kata Hasim.
Mantan Kepala Puskesmas Gane Luar ini menambahkan, perjanjian dibangun kembali rumah miliknya itu disampaikan pemerintah provinsi melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Pemukiman. Tetapi hingga kini tidak dibangun.
“Sehingga kami harus membuat rumah darurat berdinding papan, beratap terpal dan beralaskan tanah,” kata Hasim. Lelaki paru baya yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan dan penjual ikan asin itu, mengisahkan kehidupannya setelah rumahnya dibongkar oleh pemerintah daerah setempat, setiap malam harus tidur beralaskan tikar dengan menahan udara dingin. “Kalau siang hari harus tinggal di bawah pohon kerena sebagian atap rumah belum terpasang atap,” sambung dia.
Gubernur Abdul Gani Kasuba mengatakan kebijakan yang dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi terhadap warga kampung nelayan Pulau Daga Kecil hanya untuk menjaga kelestarian Widi sebagai daerah destinasi wisata.
Menurut politikus PKS itu, bahwa wilayah Kepulauan Widi tidak berpenghuni. “Mereka hanya datang mangael (memancing) di sini (perairan Widi) kemudian bermalam lalu kembali lagi ke desa di Kecamatan Gane Timur.”
Bagi Gani, uang ganti rugi sebesar Rp 10 juta sudah lebih dari cukup. “Siapa yang bilang tidak cukup. Itu kan sudah lebih,” kata dia.
Menurut Gani, kebijakan pembongkaran rumah-rumah itu terpaksa dilakukan karena dilihat rumah-rumah nelayan yang ada tidak layak huni. “Jadi pembongkaran dilakukan karena sebetulnya rumah-rumah ini tidak layak huni. Itu rumah hanya rumah kebun, yang pakai papan kemudian ditaruh atap (anyaman dari daun rumbia). Sehingga dibongkar supaya dibangun lagi rumah yang lebih layak,” kata Gani.
“Jadi saya mau supaya rumah-rumah mereka itu jangan rumah kebun. Juga tidak ada pengusiran, karena memang mereka ada di sini itu karena untuk mencari hidup.”
Hairil Hiar