News  

Koalisi Keadilan Sebut Para Capres RI tak Punya Solusi Krisis Iklim

Avatar photo
Iklim, capres
Salah satu kawasan izin perusahaan pertambangan di Maluku Utara yang terdapat di dekat pesisir dan pulau-pulau wilayah Kabupaten Halmahera Timur. (Hairil Hiar/kieraha.com)

Koalisi Keadilan Iklim menganggap ketiga Bakal Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden belum menempatkan krisis iklim dan pemulihan lingkungan sebagai agenda prioritas, sejak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum atau KPU pada Oktober 2023 lalu.

Bagi koalisi yang terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola ini bahwa dampak krisis iklim kian memburuk, namun narasinya masih sepi dari percakapan elektoral para capres dan cawapres dalam berbagai agenda kunjungan mereka.

BACA JUGA Aktivis Lingkungan Pertanyakan Komitmen Penanganan Krisis Iklim Para Capres

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, agenda iklim dan dokumen visi-misi para capres tidak menegaskan perubahan haluan ekonomi untuk mengatasi krisis iklim.

“Dokumen visi-misi mereka (capres) tidak ngomongin jangka panjang untuk generasi masa depan. Jadi mikirnya itu masih dengan pola ekonomi yang sekarang, pola ekonomi yang ekstraktif, sangat tergantung pada energi fosil, belum ada ketegasan untuk mencegah deforestasi dan mempertahan sisa hutan yang ada,” tuturnya, di Jakarta, Rabu, 8 November 2023.

Mereka menemukan, kata Nadia, dari sekian banyak janji dalam visi-misi para capres tidak ada klaster yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim dan lingkungan hidup, bahkan masih menyisakan banyak kekurangan.

“Misalnya pada klaster perubahan iklim, belum ada paslon yang tegas berkomitmen mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat sesuai dengan arahan ilmu pengetahuan terbaru. Di klaster kebijakan transisi energi, penggunaan bahan bakar fosil ternyata masih juga didorong, melalui eksplorasi dan pembangunan kilang minyak bumi baru dan hilirisasi batubara,” ujarnya.

Ia melanjutkan, padahal sangat perlu agar ada rambu pengaman supaya transisi energi tidak bertolak belakang dengan upaya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat. Agar jangan sampai terjadi penggundulan hutan dan hak masyarakat terlindas demi proyek-proyek transisi energi.

Nadia juga mengemukakan, paslon pun masih mendorong ambisi pembangunan yang haus lahan seperti ekspansi pertambangan untuk transisi energi, bioenergi, perluasan lahan perkebunan baru, food estate, hingga IKN.

“Komitmen perlindungan dan restorasi lahan gambut juga masih minim,” katanya.

Ika Idris, Chair Monash Climate Change Communication Research Hub atau MCCCRH – Indonesia Node menyatakan, temuan koalisi juga mirip dengan riset mereka. Kata Ika, dengan menggunakan empat kata kunci seperti lingkungan, iklim, ekologi, dan energi ternyata dokumen visi-misi ketiga pasangan capres hanya memuat sekitar 1% kata-kata yang terafiliasi dengan kebijakan perubahan iklim dan lingkungan.

Ia menyebutkan, pasangan Ganjar-Mahfud paling banyak mencantumkan kata tersebut yakni 47 kata atau 1,09%, diikuti oleh Anies-Muhaimin sebanyak 44 kata (0,6%) dan Prabowo-Gibran sebanyak 44 kata (0,58%).

“Lagi-lagi isu perubahan iklim dan lingkungan bukan menjadi prioritas, meski ancaman dan dampak perubahan iklim sangat nyata kita rasakan,” kata Ika.

Menurutnya, pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim menjadi agenda global yang berdampak ke semua orang, dari desa sampai kota. Di kota terdampak oleh polusi udara, sementara pelosok desa harus menanggung kekeringan dan gagal panen.

Ia mengimbau, agar Pemilu menjadi momentum untuk menilai kandidat yang berkomitmen terhadap isu perubahan iklim. Apalagi masa kampanye hanya 75 hari. Hal ini dianggap Ika, terlalu singkat bagi para kandidat menyampaikan gagasan politik terkait iklim dan lingkungan hidup.

Peran Milenial dan Generasi Z

Joni Aswira, Ketua Umum Society of Indonesia Environmental Journalist atau SIEJ mengemukakan, yang dibutuhkan oleh generasi muda ialah melimpahnya buah pikir para kandidat untuk berbicara tentang masa depan lingkungan bagi generasi muda.

Sebab, katanya, anak muda milenial dan generasi Z merupakan pemilih mayoritas atau sebanyak 56,45% dari total pemilih pada Pemilu 2024. Merekalah yang paling getol menyuarakan perubahan iklim dan lingkungan hidup sebagai masalah yang harus ditangani.

Realitas itu pun tercermin dari penelitian Center of Economi and Law Studies bersama Unity of Trend. Sepanjang 31 Maret 2023 – 15 April 2023, CELIOS dan UniTrend menyurvei 1.245 responden dan menemukan, 81% masyarakat Indonesia setuju kalau pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim.

Selain itu, menurut studi tersebut, jika dilihat dari daerah tempat tinggalnya, masyarakat yang tinggal di lingkungan perkotaan menyepakati hal tersebut sebanyak 89% dan pinggiran kota (88%) cenderung lebih setuju ketimbang masyarakat pedesaan yang hanya 74%.

“Studi ini menemukan bahwa Generasi Z dan Milenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata. Dan 60% masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia,” tulis laporan riset tersebut.

Joni melanjutkan, ruang gagasan menyangkut krisis iklim ini harus diinisiasi berbagi pihak dan mestinya disambut pula oleh para kandidat.

BACA JUGA Aktivis Iklim Anggap JETP Jadi Jebakan Berkedok Transisi Energi

“Sebab kita ingin menilai mana capres yang peduli dan berkomitmen, dan mana yang tidak. Swing voter kita masih tinggi. Jangan-jangan mayoritas di dalamnya adalah anak muda yang risau dengan dampak krisis iklim,” kata Joni.

Ia menambahkan, SIEJ tengah menyelenggarakan Green Press Community selama 8-9 November 2023 di Jakarta. Bahkan menyediakan ruang khusus untuk para capres berbagi gagasan.

“Namun sayangnya, bagi kandidat capres isu-isu seperti ini memang masih kalah seksi dibanding seremoni politik,” sambungnya.*