Saksi Bisu 1.000 Ton Kopra dan Sejarah Pembentukan Maluku Utara

Avatar photo
Aksi menolak Omnibus Law di HUT Provinsi Malut ke21 yang digelar oleh mahasiswa Kampus Unibra Sofifi di depan Kantor DPRD Malut, Senin 12 Oktober 2020. (Kieraha.com)

Provinsi Maluku Utara telah berumur 21 tahun. Puncak perayaannya kembali dilaksanakan di ibu kota provinsi, di Sofifi, Jalan Raya Lintas Halmahera, Oba Utara, Senin, 12 Oktober.

Dalam refleksi terbentuknya provinsi di daerah berjuluk Negeri Kepulauan Rempah atau sebutan lainnya adalah Moloku Kieraha, ini ternyata memiliki perjuangan yang panjang sampai menjadi Provinsi Maluku Utara saat ini.

“Upaya perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara ini sudah dimulai sejak tahun 1950 pasca dibubarkannya Negara Republik Indonesia Serikat. Ini ditandai dengan pengiriman para delegasi kepada pemerintah pusat untuk menyampaikan tuntutan mengembalikan seluruh wilayah Provinsi Maluku ke kekuasaan Republik Indonesia dan menuntut agar daerah Maluku Utara menjadi daerah otonom tingkat I,” ujar Ketua DPRD Provinsi Malut, saat membacakan Naskah Sejarah Pembentukan Provinsi Maluku Utara, di halaman kantor gubernur, Senin pagi WIT.

Pada 18 September 1957, lanjut Kuntu, DPRDP Maluku Utara menggelar sidang dan mencetuskan resolusi yang mendesak pemerintah pusat agar Maluku Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I.

“Pada bulan November 1957, Pemerintah Maluku Utara kembali mengirim delegasi ke pusat untuk menyampaikan hasil resolusi pada sidang DPRDP tersebut. Namun, perjuangan ini belum membuahkan hasil karena sikap pemerintah pusat lebih mengutamakan pengembalian de facto dataran Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Selain itu, penghambat lainnya adalah pecahnya Permesta pada tahun 1958. Beberapa pejuang pembentukan provinsi ditangkap dan dipenjarakan di Nusa Kambangan,” sebut Kuntu.

Kuntu mengisahkan, semangat perjuangan pembentukan provinsi ini kemudian dilanjutkan, ketika diberlakukannya Undang-Undang Nomor 60 Tahun 1958 tentang pembentukan Kabupaten Maluku Utara. Pada tahun 1963 sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Parkindo mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong atau DPRD-GR untuk memperjuangkan Maluku Utara jadi tingkat I.

“DPRD-GR merespon upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang memberi dukungan upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara,” lanjut dia.

Saksi Bisu 1.000 Ton Kopra
Upacara HUT Provinsi Malut ke21. (Kieraha.com)

Pada tahun 1963-1964, perjuangan Provinsi Maluku Utara kembali ditempuh melalui jalur diplomasi politik. Masyarakat melalui Koperasi DAKOMIB menggalang dana melalui pengumpulan kurang lebih 1.000 ton kopra dengan nilai Rp 125.000.000.

“Penggalangan dana tersebut dimaksudkan untuk perjuangan pemekaran Maluku Utara menjadi daerah otonom tingkat I,” sebut Kuntu.

Di tahun yang sama pada 1964, lanjut Kuntu, gerakan perjuangan kembali berkobar dalam wujud yang lebih revolusioner, terorganisir, dan konsepsional. Gerakan ini dipimpin oleh Bupati Maluku Utara, MS Djahir dan mendapat dukungan sepenuhnya dari tokoh-tokoh masyarakat Maluku Utara yang menggagas didirikannya Universitas Khairun sebagai investasi penyiapan sumber daya manusia.

Pada tahun 1968, pemerintah daerah bekerja sama dengan DPRD, partai politik, dan organisasi massa, melaksanakan musyawarah besar rakyat Maluku Utara.

Musyawarah ini merupakan sebuah forum penting yang menghimpun dan merajut gagasan-gagasan untuk menguatkan argumentasi perjuangan pembentukan daerah tingkat I.

“Di sinilah lahir dua keputusan strategis, yaitu penyusunan buku putih yang memuat seluruh argumentasi politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan sebagai landasan pembentukan daerah tingkat I, dan pengiriman delegasi ke Jakarta,” kata Kuntu.

“Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh pada tahun 1998, ruang demokrasi mulai terbuka lebar. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pejuang pembentukan Provinsi Maluku Utara melalui sejumlah rangkaian kegiatan seperti seminar, lokakarya, hingga terbentuk kembali tim perjuangan pembentukan Provinsi Malut.”

Sementara itu lanjut Kuntu, tekanan masyarakat, organisasi, pemuda, dan mahasiswa mengalir semakin deras. Demonstrasi dan mobilisasi massa terus bergerak meluas. Semua sumberdaya dikerahkan dengan satu tujuan, Kabupaten Maluku Utara harus dimekarkan menjadi daerah tingkat I.

“Dan akhirnya pada tahun 1999, keluarlah Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Daerah Maluku Utara menjadi provinsi. Sejak tanggal 4 Oktober 1999, Maluku Utara resmi menjadi  provinsi (hingga sekarang dengan semboyan Marimoi Ngone Futuru atau Bersatu Kita Kuat),” tutup Kuntu.

Semboyan 10 Kabupaten Kota
Gubernur bersama mantan wakil gubernur HM Natsir Taib dan Ketua DPRD Malut Kuntu Daud saat mengikuti HUT Provinsi Malut ke21. (Khaira Ir Djailani/Kieraha.com)

Dari hasil pembentukan provinsi ini kemudian lahir lah 8 kabupaten dan 2 kota. Kabupaten kota ini memiliki semboyan dengan arti atau maknanya masing-masing.

Untuk Kabupaten Halmahera Barat dengan semboyan Ino Fo Makati Nyinga yang artinya Bersatu Hati untuk Membangun Daerah, Kabupaten Halmahera Tengah dengan semboyan Fagogoru yang bermakna Bakupanggil atau Bakubilang dengan saling cinta kepada sesama, Kabupaten Halmahera Selatan dengan semboyan Saruma atau dengan makna bertekad untuk Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Utara dengan semboyan Hibualamo atau mengandung makna Rumah Besar yang merupakan perekat semangat kebersamaan dan keberagaman, Kabupaten Halmahera Timur dengan semboyan Limabot Fayfiye atau dengan makna ajakan yang mengutamakan kebersamaan yang harmonis.

Kabupaten Pulau Morotai dengan semboyan Podiki De Porigaho yang memiliki makna saling mendukung untuk mewujudkan cita-cita pemerintah daerah yang Kuat dan Bermartabat di segala bidang, Kabupaten Kepulauan Sula dengan semboyan Dad Hia Ted Sua dengan makna Bersatu Angkat Sula, Kabupaten Pulau Taliabu dengan semboyan Hemungsia Sia Dufu dengan arti Bersatu Menjadi Satu, dan Kota Ternate dengan semboyan Maku Gawene yang memiliki makna saling menyayangi, cinta dan kasih sayang sesama manusia, serta Kota Tidore Kepulauan dengan semboyan Toma Loa se Banari dengan makna keberkatan, keselamatan, yang senantiasa menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran.