Matahari pagi masih malu-malu keluar dari peraduannya. Kala air mulai hangat, tampak salah seorang nelayan, namanya Ruslan.
Lelaki 62 tahun itu sedang berada di bawah rerimbunan hutan mangrove, Pulau Daga Kecil, Kepulauan Widi, Kecamatan Gane Barat Selatan, Halmahera Selatan, sibuk menguras air dalam bak perahu miliknya.
“Ini aktivitas sehari-hari saya, (persiapan) mencari ikan di (perairan) Daga (nama lain dari sebutan Pulau Widi). Biasanya saya melakukan ini sebelum matahari terbit, namun karena ada lomba mangael (mancing) ikan, sehingga saya melakukannya saat matahari terbit (setelah seluruh peserta mancing bertolak dari dermaga Daga menuju laut Widi),” ucap Ruslan ketika disambangi, Sabtu pagi, 28 Oktober 2017.
Suasana pagi itu di Pulau Daga Kecil, berbeda dari biasanya. Pulau yang biasanya sepi dan hanya dihuni oleh 15 Kepala Keluarga telah berubah menjadi lautan manusia kurang lebih 900 orang. Ratusan orang ini terdiri dari peserta, panitia, dan tamu undangan, serta pengunjung yang datang untuk meramaikan pelaksanaan event Widi International Fishing Tournament atau WIFT 2017, sementara Ruslan memilih mengerjakan rutinitasnya sehari-hari sebagai nelayan tradisional.
“Memang sudah begini. Kalau tara (tidak) begini, anak istri makan apa. Biar dorang (mereka atau pengunjung dan peserta) urus sudah. Saya kerja saja,” kata dia.
BACA JUGA
Mengintip Nasib Nelayan di Pulau ‘Surga’ Halmahera
Senjakala Kampung Nelayan Usai Lomba Mancing Halmahera
The Charm Widi Island North Moluccas
Ruslan mengatakan pagi itu sebenarnya ia tidak sendiri. Biasanya ia mengerjakan rutinitas tersebut bersama beberapa rekan nelayan lainnya di pulau berpenghuni itu. “Ada teman juga yang setiap pagi kerja begini. Tetapi saat ini mereka sedang bikin rumah sehingga belum melaut,” kata Ruslan.
“Kurang lebih 21 tahun saya tinggal di sini. Kadang-kadang kalau habis (makanan ubi kayu dan pisang), kami pergi beli di Gane (Ibu Kota Kecamatan). Biasanya sebulan sekali baru ke sana. Beli beras, gula dan kopi untuk persiapan satu bulan.”
Kawasan Pulau Widi memiliki hamparan pasir putih yang luas. Warna air lautnya setiap saat berubah-ubah seiring panasnya bumi. Di perairan Widi, beragam jenis ikan dan terumbu karang bermukim, menjadi tempatnya makanan habitat laut.
Pada wilayah perairan tersebut, masuk Kawasan Konservasi Perikanan Daerah (KKPD) yang ditetapkan melalui SK Gubernur Maluku Utara Nomor: 251/KPTS/MU/2015. Selain itu, Kepulauan Widi yang memiliki 99 gugusan pulau-pulau kecil oleh perusahaan asal Inggris, PT Leadership Island Indonesia akan mengelola pulau itu selama 35 tahun sebagai daerah destinasi wisata.
Di pantai Kepulauan Widi, kita bisa melewati pagi hari dengan indah. Ketenangan di pulau-pulau kecil seperti ‘surga’ seketika menyatu tanpa malu-malu atau sembunyi.
Dari bibir pantai Widi, kita bisa menikmati matahari terbit di bagian timur, selatan Halmahera yang memiliki pesona pulau-pulau cantik.
Kampung Nelayan Usai Lomba
Ruslan menceritakan, pelaksanaan lomba memancing atau WIFT di Kepulauan Widi seakan mengusik ketenangan warga kampung nelayan, Pulau Daga Kecil.
“Saat ini saya bersama istri tinggal di rumah yang kami buat untuk sementara. Rumah lama sudah dibongkar,” ujar dia.
Hal senada, dikatakan La Siani, salah satu warga nelayan Kepulauan Widi. Lelaki 68 tahun itu mengemukakan, sebanyak 11 rumah penduduk yang bermukim di dekat dermaga Daga, Pulau Daga Kecil, dibongkar dan sebagiannya dibakar.
“Sudah dibongkar. Sebagian dibakar,” kata La Siani, kala disambangi Sabtu sore.
Lelaki asal Buton, Sulawesi Tenggara itu menceritakan, rumah miliknya yang dibangun sejak 16 tahun lalu kini digantikan dengan rumah berupa home stay mewah yang ditempati gubernur Abdul Gani Kasuba saat event WIFT 2017.
Lelaki yang mempersunting wanita asal Desa Gane Luar itu, sepertinya trauma. Ia hanya bisa memendam asa yang telah dirusak.
Rumah La Siani sebelum satu bulan pelaksanaan event WIFT pada 25-29 Oktober, berada tepat di depan dermaga Daga, Pulau Daga Kecil. Saat ini, rumah La Siani dan 10 rumah lainnya yang terbuat dari papan dan beratap daun rumbia tinggal cerita.
La Siani menceritakan, selama empat malam, setelah rumahnya dibongkar, ia bersama istrinya dan warga yang lain tidur beralas tanah di bawah pohon.
“Kami tidur di bawah pohon cemara. Lantai pakai papan. Ada terpal yang kami gunakan sebagai pampele (penghadang hujan dan panas),” ujar dia.
Rumah La Siani yang baru dibangun saat ini baru terdapat lantai papan berbentuk panggung yang beratap terpal bekas. Lantai rumah yang baru didirikannya sejak 7 hari lalu itu pun belum dilengkapi dinding dan dapur. La Siani bersama istrinya tidur, memasak, dan makan di atas lantai rumah tersebut.
“Seperti inilah keadaan saya dan istri sekarang ini. Rumah-rumah yang sudah ada sejak puluhan tahun hanya kenangan bagi kami,” kata La Siani.
Sebanyak 15 kepala keluarga yang terasing saat ini. Sebagian besar kepala keluarga di pulau setempat memiliki anak 3 sampai 5 yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Seluruh penduduk di kampung nelayan itu menetap di Pulau Daga Kecil untuk mencari biaya pendidikan anak-anak mereka dan makan sehari-hari.
La Siani, saat ditunjukkan gambar rumah yang pernah dihuninya bersama istri dan anak-anaknya itu, tak mau mengintip. Ia hanya merunduk. Tak lama kemudian meneteskan air mata. “Saya tidak mau lagi lihat gambar rumah saya (sebelum dibongkar). Tidak mau lagi,” ucap La Siani yang terus merunduk.
Lelaki berusia senja itu tak kuasa menahan air matanya. Kesedihan terpancar dari raut wajah La Siani, perantau asal Buton yang bermukim di Daga Kecil.
Dia menceritakan, saat pembongkaran dilakukan, sebagian warga pemilik rumah sedang melaut. “Mereka tidak ada di tempat saat pembongkaran. Kalau saya ada, dan saya memilih bongkar sendiri (tak ada pilihan lain). Saya tidak mau mereka bongkar karena saya sendiri tidak tegah lihat orang lain bongkar,” sambung dia.
“Mau bagaimana. Kami orang biasa. Kalau sudah mau pemerintah seperti itu mau bagaimana. Maunya kami ya jangan bongkar. Kami bermukim di sini sudah puluhan tahun. Kami tidak tahu kalau di sini akan dijadikan tempat wisata seperti ini.”
La Siani mengemukakan, sebelumnya, Natalia Nari Cahterine, CEO PT Leadership Island Indonesia atau LII berencana akan menjadikan kampung nelayan tersebut sebagai desa wisata.
“Itu kalau pariwisata yang dibangun ini sudah jadi,” kata La Siani.
“Kami sering diajarkan bahasa inggris. Makanya istri saya bisa sedikit-sedikit, meski banyak yang tidak dimengerti, tetapi kadang dikasih arti oleh ibu Natali.”
Kampung Nelayan tak Dianggap
Rumah-rumah yang dibongkar tersebut sudah dilakukan ganti rugi. Melalui pemprov Maluku Utara dibayar tunai sebesar Rp 10 juta per unit.
“Uang Rp 10 juta sudah dikasih tunai. Semua ada 11 unit. Itu dari orang provinsi yang kasih, saya tidak tahu namanya. Saya terpaksa terima karena seluruh warga sudah terima. Karena terima atau tidak rumah sudah dibongkar,” ujar La Siani.
Uang ganti rugi tersebut apabila disesuaikan dengan ongkos membangun rumah baru berbahan papan dan daun rumbia di kawasan Daga Kecil tidak lah cukup.
“Untuk belanja papan saja saat ini Rp 1,2 juta per kubik. Sementara punya saya kalau lantai saja itu bisa 3 kubik lebih. Kalau papan untuk dinding satu kubik, kemudian atap itu kita beli per lembar saat itu Rp 3 ribu dengan jumlah 300 lembar.”
“Belum lagi biaya bensin dan ongkos sewa motor (katinting) yang angkut semua bahan dari Desa Gane Luar ke Pulau Daga Kecil sebanyak empat kali PP. Belum lagi paku dan kebutuhan yang lain. Karena itu uang Rp 10 juta tidak cukup.”
“Apalagi kalau dengan harga bahan yang ada sekarang ini,” sambung La Siani.
Gubernur Abdul Gani Kasuba mengatakan kebijakan yang dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi terhadap warga kampung nelayan Pulau Daga Kecil hanya untuk menjaga kelestarian Widi sebagai daerah destinasi wisata.
Menurut politikus PKS itu, bahwa wilayah Kepulauan Widi tidak berpenghuni. “Mereka hanya datang mangael (memancing) di sini (perairan Widi) kemudian bermalam lalu kembali lagi ke desa di Kecamatan Gane Timur.”
Bagi Gani, uang ganti rugi sebesar Rp 10 juta sudah lebih dari cukup. “Siapa yang bilang tidak cukup. Itu kan sudah lebih,” kata dia.
Menurut Gani, kebijakan pembongkaran rumah-rumah itu terpaksa dilakukan karena dilihat rumah-rumah nelayan yang ada tidak layak huni. “Jadi pembongkaran dilakukan karena sebetulnya rumah-rumah ini tidak layak huni. Itu rumah hanya rumah kebun, yang pakai papan kemudian ditaruh atap (anyaman dari daun rumbia). Sehingga dibongkar supaya dibangun lagi rumah yang lebih layak,” kata Gani.
“Jadi saya mau supaya rumah-rumah mereka itu jangan rumah kebun. Juga tidak ada pengusiran, karena memang mereka ada di sini itu karena cari hidup,” tutup Gani.